Konsep
“I mangge Mpobilisi”
Karya Ashar Yotomaruangi Sutradara M.Noerdianza
Nampaknya kehidupan tradisi kita kian rapuh
begitu banyak usaha, terutama dalam bentuk pertunjukan
baik teater, musik, tari, yang mengangkat kebudayaan lokal
dan kurang mendapatkan perhatian
Sudah demikian berurat akar di dalam kehidupan masyarakat kita?
Adakah tradisi yang kita agul-agulkan yang selalu membuat diri kita menepuk dada sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai adiluhung
sebagai khasanah kehidupan kita masih berfungsi untuk menahan laju, atau minimal menciptakan suatu cara berpikir kritis, jernih, dan mendalam demi kemajuan seni dan kebudayaan lokal
Di mana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. berangkat dari motto inilah pertunjukan berbahasa kaili akan dipentaskan, sebab bahasa tidak lepas dari ciri, watak, yang menggambarkan kepribadian diri seseorang di mana ia lahir dan dibesarkan. Teater berbahasa kaili tentunya masih begitu asing untuk dipentaskan, mengingat kota Palu tidak hanya didiami suku kaili saja. Hal tersebut bukanlah kendala melainkan motivasi dan tugas kita bersama mengangkat bahasa kaili kepermukaan. Kita harus berani bermimpi, karena dengan mimpi kita akan terus terpacu unuk melakukan berbagai hal (Rusdi Mastura, 2011: 94).
Peristiwa teater selama ini hanya berpusat di kota tanpa melibatkan masyarakan pinggiran kota. Dengan adanya teater berbahasa kaili yang terjun ke desa-desa, kaki-kaki gunung, sudah barang tentu akan lebih mempererat psikologis dan sosiologis dengan masyarakat setempat. Beberapa alasan dan opini di atas yang sebenarnya menjadi kegelisahan, stimulan sekaligus motivasi Sanggar Seni Lentera untuk kembali membuat pementasan. Maka untuk menjawab kerinduan publik teater di Kota Palu, SSL akan muncul dengan produksi teater berbahasa Kaili. SSL kembali menyuguhkan dengan format ”Teater Berbahasa Kaili” dengan konsep ruang pemanggungan out door,
Pertunjukan Teater berbahasa Kaili dengan juduI “I Mangge Pobilisi” karya Ashar Yotomaruangi akan dipentaskan keliling dari kampung ke kampung. Pilihan tempat pementasan Sanggar Seni Lentera out door setting yang digunakan merespon ruang yang ada. Anggaplah ini sama halnya mengunjungi rumah sendiri dan mengakrapinya. Rumah yang nanti kita menciptakan peristiwa teater bersama-sama. Peristiwa kebudayaan dengan melibatkan unsur apa saja dan siapa saja. Peristiwa dan perjumpaan di luar rumah yang hangat dan penuh kekeluargaan.
Profil Singkat Organisasi
Sanggar Seni Lentera
Dengan bermodalkan pengalaman, semangat, kemauan, keberanian dan kemampuan, Musa Abdul Kadir, Husen Abdul Kadir, Petrus. Mendirikan organisasi seni yang diberi nama Sanggar Seni Lentera (SSL). Tepatnya ditahun 1993. Ketiga pendiri menyatukan idiologi merangkum segala unsur seni baik teater, musik dan tari. Pengalaman membentuk pendewasaan diri untuk bepikir, berbuat, dan bertindak dalam mengambil keputusan dengan bijak. Pengalaman pula yang menentukan perbedaan ciri khas yang melahirkan teknik dan gaya pemanggungan. Dari pengalaman inilah lahir pengkayaan seni yang tumbuh dan berkembang di Kota Palu. SSL dengan pengalamannya memberanikan diri mengepakkan sayap mengajarkan pengetahuan seni ke tingkat Sekolah Menengah Atas, antara lain SMKN 3, SMKN 2, SMKN 1, SMAN 3 dan perekrutan anggota baru yang dianggap berkompoten di bidangnya. Kemudian dikukuhkan menjadi anggota SSL, yang nantinya mengajarkan seni di sekolahnya masing-masing. Lahirnya keinginan ini, disebabkan kian maraknya tauran antar sekolah. Maka kami memutuskan untuk terjun langsung di beberapa sekolah yang rawan akan konflik dan mendidik para siswa/siswi mengasa kemampuan daya khayalnya untuk mencipta karya seni. SSL dikenal sebagai dapur seni, yang melahirkan generasi muda yang sebelumnya awam tentang kesenian sampai pada akhirnya mampu untuk mandiri mencari jati diri.
Beberapa repertoar pertunjukan teater (historiografi) yang pernah diproduksi antara lain :
2000 : “AUM” karya Putu Wijya
1999 : “RAJA MAHDIA” karya Irwan Pangeran
2000 : “WARNA-WARNI” karya Irwan Pangeran
2002 : “KEPALA BATU BATU KEPALA” kaya Toto dan Naim, Dj
2002 : “BELENGGU AIR” karya Toto
2003 : ”TOMANURU” karya Ria/Musa
2002 : “TAIGANJA” karya Musa
“SANDO” karya Hidayat Lembang
2001 : ”PRAHARA GERILYA” karya Musa
: ”DOR” karya Putu Wijaya
2010 : “BOS” Karya M. Noerdianza
2010 : “TOPOGENTE” Karya Ashar Yotomaruangi
2011 : “KEHIDUPAN GALILEI” Judul Asli “Leben des Galile” karya Bertolt Brecht
Terjemahan Frans Rahardjo
2011 : “DIAM” Judul asli “Le Silence” karya: Jean Murriat Saduran; Bagdi Soemanto
2011 : “I MANGGE MPOBILISI” karya Ashar Yotomaruangi
Latar Belakang pengarang
.??????????
3. Analisis Lakon
Setelah melakukan penggalian latar belakang pengarang ditemukan bahwa naskah drama “Imangge Mpobilisi” ditulis di Palu pada tahun .... Sebelumnya naskah ini pernah dipentaskan di Gedung tertutup Taman Budaya dalam rangka “Technokrat Art Show 2010”, tetapi sangat disayangkan bahasa kaili kehilangan makna dan keunikan pengucapannya karena dibenturkan dengan bahasa Indonesia, sehingga pertunjukan berbahasa kaili kehilangan ruh dan keunikan serta warna dan bentuknya ketika dibenturkan dengan bahasa Indonesia. Patut diketahui bahwa Inti dari segala kemajuan adalah terbangunnya watak. Ini bukan keegoan diri melainkan sebagai penghargaan terhadap leluhur yang telah menelurkan kepada kita dan kita patut mengangkatnya kepermukaan, menjaga serta melestarikannya.
Dari penelitian ini dapat dilacak bahwa naskah drama “I mangge Mpobilisi” gaya penulisannya komedi satir, mengangkat realitas sosial suku Kaili, (aliran realis suryalis) Karya seni harus dinilai sebagai suatu tiruan, yakni tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Karya seni bersifat luas, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus melambangkan dan “mengandung” unsur universal (sifat umum) dalam metode atau cara individu, yaitu unsur yang khas manusiawi yang seolah-olah berlaku pada segala masa dan segala tempat. Dengan begitu karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu. Berdasarkan pengalamannya sendiri entah ia dalam posisi sebagai sutradara, pemain, ataupun penonton. Sebelum menganalisis struktur dan tekstur yang terkandung dalam naskah drama “I mangge Mpobilisi” karya Ashar Yotomaruangi.
“I mangge Mpobilisi” Dalam bahasa Kaili I penegasan dia laki-laki, kata Paman dipanggil dengan sebutan Mangge, sementara Mpobilisi, yakni selalu marah. Secara etimologis atau asal kata “I mangge Mpbilisi” yaitu paman yang selalu marah-marah.
Analisis untuk mengungkapkan struktur dan tekstur daramatik. Stuktur adalah pola pikir yang sangat mendasar di dalamnya terdapat perancangan hasil dari pengamatan panca indara. Analisis Struktur Menurut Bakdi Soemanto adalah bangunan pikiran lakon yang terdiri dari plot, character, theme.
Analisis Struktur
Plot/ alur
Alur dalam naskah drama “I mangge mpobilisi” tiga babak Awal,tengah, akhir. Naskah drama karya Ashar Yotomaruangi ini menyinggung realitas sosial masyarakat suku kaili tepatnya di Kota Palu Sulawesi Tengah. Sifat dan watak orang-orang Kaili yang keras dan tegas dan sangat disegani warga kampung sekitar, namun sebenarnya dibalik kekerasan dan ketegasannya tersimpan sifat perhatian dan kelembutan yang begitu besar daripada sifat kekerasannya. Lebih parahnya lagi, I mangge tukang tidur, setiap warga yang datang ribut-ribut di saat I mangge tertidur, jangan coba-coba, kau akan dimarahinya. I mangge memiliki seorang anak laki-laki bernama Yojo, yang sedang melakukan studi di Jakarta, di Jakarta Yojo bertemu dengan Enge juga sekampung dengan Yojo. Setelah Yojo dan Enge menyelesaikan studinya di Jakarta, Yojo dan Enge segera pulang ke kampung halaman bersama-sama dan mengajak Enge silaturahmi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, warga kampung menjemput kehadirannya. Tetapi sayang karena merasa gengsi baru pulang dari Ibu Kota Jakarta, Yojo berpura-pura tidak mengenal warga kampung sekitar. Lebih parahnya lagi Yojo dan Enge sudah melupakan adatnya, kehilangan etika berbicara dengan dialeg Jakarta dengan I Mangge dan Ina (istri I mangge). Karena merasa kesal mendengar Yojo berbicara ala Jakarta yang semakin membingungkan I Mangge, akhirnya I Mangge naik pitam, dan memukul Yojo dengan cambuk kuda, karena tidak tahan dengan rasa sakit Yojo langsung refleks memeluk kaki I Mangge sambil memohon ampun dengan bahasa Kaili. Karena takut Enge juga meminta ampun dengan bahasa Kaili. Emosi I mangge mulai redah, dan membujuk Yojo untuk menikah dengan Dei. Tetapi Yojo tidak mau dijodohkan dengan Dei, Yojo tetap berkeras lebih memilih Enge, I mangge kembali marah karena Yojo tidak mendengarkan perintahnya dan mengusir Yojo dari rumahnya..akhirnya Yojo pergi meninggalkan rumahnya dengan tangis kesedihan, baru berapa langkah meninggalkan rumah I mangge terjatuh karena sakit jantung yang dideritanya, Yojo berbalik sambil berlari menghampiri I mangge sambil memeluk I mangge dengan tangisan dan penyesalan yang mendalam.
Karakter
Imangge
Psikologisnya :Tegas dan keras
Sosiologis : Orang terpandang dan disegani dikampungnya, memiliki berhektar tanah, akhirnya jatuh
miskin
Fisiologis : Umur 50 tahun, kekar, berkumis panjang,
Tinana (istri Mangge)
Psikologis : Penyayang, keras,
Sosiologis : Ibu rumah tangga
Fisiologis :Umur 43 tahun, gemuk, kulit saumatanag
Yojo
Psikologis : Penakut dan sombong
Sosiologis : Seorang mahasiswa
Fisiologis : Umur 25 tahun, kukit kuning langsat, rambut hitam lurus, hidung tinggi.
Dei
Psikologis : Penakut
Sosiologis : Kelas menengah, seorang mahasiswa
Fisiologis :Tinggi kurus, Umur 24 tahun, hidung pesek, kulit kuning langsat,rambut lurus panjang.
Tambako1
Tambako 2
Kabilasa 1
Kabilasa 2
Kobilasa 3
Tema
“Akibat derasnya arus globalisasi adat terlupakan”
Analisis Tekstur Lakon
Naskah drama adalah pijakan dalam mewujudkan gagasan untuk memvisualisasikan pengembangan karakter atau watak tokoh serta unsur pementasan lainnya. Menafsir naskah terlebih dahulu memahami tekstur. Tekstur berasal dari kata text yang berarti tenunan yang dapat ditangkap dengan lima indra, dengan mempertimbangakan tekstur dari teks dramatik lakon dalam wujud teks tertulis dapat dibayangkan sosoknya. Istilah ini untuk menyebutkan tiga unsur dalam teks dramatik yakni dialog, mood dan spectacles.
Dialog
Drama ini memperlihatkan suatu gaya penulisan dengan ungkapan keseharian. Mengingat bahwa teks ini tidak memiliki narasi jalan yang dituju yakni melalui dialog yang ada pada teks lakon. Pertama harus menyajikan informasi, kedua, dialog harus mewujudkan karakter, ketiga, dialog harus mengiringi perhatian pada kepentingan plot, yaitu memberi tekanan pada makna dan informasi di dalamnya serta membangun reaksi yang dihasilkannya. Keempat, dialog menghidupkan tema naskah, kelima, dialog harus membantu pembentukan nada dan suasana kemungkinannya, keenam, dialog harus membantu meningkatkan tempo dan irama. Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton, melalui suara dan gerak tubuhnya. Menurut Roman Ingarden, teks lakon pada umumnya adanya dua unsur pokok, yang pertama disebut Haupttext, yakni primary text atau teks utama yang berwujud dialog tokoh-tokoh, dan Nebentext, yakni ancillary text atau teks tambahan yang sering juga disebut teks pembantu. Teks tambahan ini biasanya dicetak miring, diletakkan dalam kurung dengan huruf kapital, atau garis bawah.
Mood
Mood adalah suasana. Aristoteles menyebut bahwa suasana dan irama sebagai musik. Irama musik dapat digunakan sebagai pengganti istilah suasana dan irama pertunjukan, suasana sebuah pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta sebuah irama permainan. Penonton langsung menyaksikan aktor bergerak dengan irama, berbicara dengan irama, bahkan penonton langsung merasakan perubahan irama permainan karena pergantian intensitas cahaya. Penghadiran suasana dalam naskah drama “Imangge Mpobilisi” suasana perkampungan menggambarkan aktivitas keseharian warga kampung yang terlihat polos dan jujur bahkan terlihan over akting..
Spektakel
Melalui pencermatan naskah drama “Imangge Mpobilisi” Spektakel terdapat pada Set panggung dan dialeg aktor yang menggunakan bahasa Kaili.
Realis Surealis
Realisme
Realisme dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan. Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir. Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran objektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan, maka mereka pun tersisih dari pentas pula. Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal. Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William. Penulis pernah memainkan tokoh Fritz, Doni Kus Indarto memeranan Willem, Sari Nainggolan sebagai Corrie dan Sekar Pamungkas sebagai Jane waktu studi Penyutradaraan II pada Jurusan Teater ISI Yogyakarta di Kampus Utara Karangmalang (1987). Individu-individu yang hadir di atas pentas mewakili dirinya sendiri, mereka hadir dalam keamungan atau keunikan di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan pandangan hidup. Mereka adalah manusia darah daging yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realisme, protagonis dan antagonis merupakan sarana pelaksana konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial, spiritual atau alam. Ia berusaha mengalahkan, menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan, kelemahannya dengan tabah dan agung maka terjadilah tragedi. Jika mereka dapat menerima kelemahan dan keterbatasannya dengan tertawa maka lahir komedi. Apapun yang terjadi pihak protagonis dan antagonis merupakan individu yang menentukan. Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat. Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi. Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Artaud menolak aliran realisme..
Surealisme
Surealisme ialah gerakan budaya yang bermula pada pertengahan tahun 1920-an. Surealisme merupakan seni dan penulisan yang paling banyak dikenal. Karya ini memiliki unsur kejutan, barang tak terduga yang ditempatkan berdekatan satu sama lain tanpa alasan yang jelas. Banyak seniman dan penulis surealis yang memandang karya mereka sebagai ungkapan gerakan filosofis yang pertama dan paling maju. Karya tersebut merupakan artefak, dan André Breton mengatakan bahwa surealisme berada di atas segala gerakan revolusi. Dari aktivitas Dadaisme, surealisme dibentuk dengan pusat gerakan terpentingnya di Paris. Dari tahun 1920-an aliran ini menyebar ke seluruh dunia. Surealisme memengaruhi film seperti Angel's Egg dan El Topo. Kata surealisme diciptakan tahun 1917 oleh Guillaume Apollinaire dalam catatan program yang menjelaskan balet Parade, yang merupakan karya kolaboratif oleh Jean Cocteau, Erik Satie, Pablo Picasso dan Léonide Massine: "Dari persekutuan baru ini, hingga sekarang, perlengkapan dan kostum panggung di satu sisi dan koreografi di sisi lain hanya ada persekutuan pura-pura di antara mereka, terjadi sejenis super-realisme ('sur-réalisme') di Parade, di mana saya melihat titik mula serangkaian manifestasi semangat baru ini.
No comments:
Post a Comment