Monday, June 6, 2011

“Pemahaman Tasrif Lawido Tentang Dewan Kesenian Palu dan Perkembangan Seni di Kota Palu Sungguh Sangat Nihil”

Menyikapi tulisan Tasrif dimuat di Radar Sulteng Senin 6 Juni 2011)
M.Noerdianza, S.sn

Kalau mengkritik jangan sembarang cas cis cus di depan pablik, apalagi sampai dimuat di surat kabar harus ada bukti yang konkrit Kanda, siapa bilang DKP tidak ada program kerja, Komite Musik beberapa bulan lalu sudah melaksanakan program kerjanya, tepatnya 20 April 2011 di Taman Budaya, Komite Tari menghadiri pertemuan tari di Solo “Tari Internasional Dance Day 29 April 2011”, Sastra pelauncingan buku, Komite Rupa 11 Juni 2011, sementara Komite Teater akan diadakan Oktober 2011 mendatang. Saya sebagai pribadi sangat berat mengatakan kanda Tasrif sebagai Seniman senior, patut dipertanyakan kesenioritasannya. Berapa karya yang dihasilkannya? Bagaimana bentuk karyanya? Sebaik apa sih karyanya? Sementara banyak generasi yang mempertanyakan Tasrif itu siapa? Mana karya-karya yang dihasilkannya? Bentuk garapan dan ciri khasnya bagaimana sih.? Dari pertanyaan ini saja membuktikan bahwa Tasrif tidak dekat dengan masyarakatnya. Seorang seniman harus dekat dengan masyarakatnya, harus tahu perkembangan seni di Kota Palu. kalau seniman birokrat iya. Sementara, apa kontribusi Tasrif terhadap perkembangan seni di Kota Palu? Tidak jelas...kalaupun ada, garapannya pun amburadul, terbukti pada “Festival Danau Poso 2010”, iseng-iseng saya bertanya pada penari kontingen Palu, “Mba dari sanggar tari mana?” eh.., malah dijawab “maaf mas kita belum punya sanggar saya sebelumnya belum pernah menari” dan ada lagi letupan-letupan dari para penari kontingen kota “Aduh...mas saya gugup baru pertama kali ini tampil”, tidak masalah bagi saya itu hal yang wajar sebagai manusia, malah saya mencoba memberi suport “main yang bagus ya, rileks saja, yakin, jangan lupa smile. Usut demi usut ternyata para penari yang diutus pada “Festival Danau Poso” staf-staf Dinas Pariwisata Kota yang sama sekali belum berpengalaman dibidangnya. Saya berani berkata demikian sebab saya berada dilokasi. Sayang kontingen Palu dibawa binaan Tasrif hanya memalukan Kota Palu. Dinas Pariwisata seharusnya sebagai fasilitator saja bukan para IO (Iven Orgenizer), beri kepercayaan kepada yang lebih berhak dan berpengalaman dibidangnya dan seharusnya ada penyeleksian antar para komunitas, sanggar atau kelompok tari se-Kota Palu, mana yang terbaik dialah yang mewakili kota. Kanda Srif jangan sampai kebohongan-kebohongan, kepalsuan-kepalsuan dalam sebuah karya, kau hadirkan lagi dipablik..bukankah esensi dari kesenian jujur dalam perkataan, ikhlas dalam perbuatan..!! saya malah menaruh curiga kanda harus dibawa ke rumah sakit jangan-jangan ada kelainan jiwa.

Thursday, June 2, 2011

Seni Peran

“Dasar-Dasar Akting”
Moh. Nurdiansyah, S,sn

TAHAPAN PERTAMA

Pengantar Seni “Akting”

Akting adalah wujud yang kasat mata dari suatu seni peragaan tubuh, yang menirukan prilaku-prilaku manusia mencakup segala segi, lahir dan batin, yang sebelumnya digagas terlebih dahulu, direka, dirancang, kemudian diselenggarakan di panggung untuk disaksikan penonton peminatnya sebagai bentuk seni efemeral, maksud dari seni efemeral, yakni seni yang berlangsung melalui akting. (Yapi Tambayong, hal. 9:2000). Acting diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata peran (pemain sandiwara) yang dalam kamus berarti proses, cara, perbuatan memahami prilaku yang diharapkan dan dikaitkan dengan seseorang. Tentunya tidak hanya memahami tetapi juga melakukan prilaku orang tersebut. Asal kata Acting adalah to act atau dalam bahasa Indonesia berarti “beraksi”. Itu sebabnya kita sering mendengar sutradara meneriakkan kata action dibelakang kamera ketika aktor akan memulai aktingnya. Akting dengan demikian lebih berarti mengaksikan peran yang dimainkan. (Eka D. Sitorus, hal. 37:2003). Aktor memanfaatkan Tubuh pikir dan rasa sebagai alat peragaannya yang terlatih baik, sifat keperagaan ini pulalah yang membedakan akting atau nilai seni drama dan karya seni teater, berbeda dengan seni-seni kreatif lainnya. Akting menurut Richard Boleslavsky keagungan penciptaan, kemurnian suatu keindahan, sesuatu yang lebih besar dari kehidupan. (RMA. Harymawan, 27:1988) dengan demikian akting harus ditumbuhkan dari kesadaran-kesadaran insani yang mengikat, kesadaran yang dimaksud itu adalah kesadaran estetis dan kesadaran etis. Kesadaran estetis; Lahirnya kesenian ditentukan oleh dorongan keindahan alami itu menjadi bentuk yang mewujud sebagai keindahan seni. Kesadaran etis berarti ia telah menerima pikiran yang hakiki, bahwa sumber segala keindahan itu adalah sang Ilahi, pencipta alam dan segala isinya.

Asal Mula Gestur
Ketika aktor tertarik untuk menyelidiki tingkah-laku unik seseorang, dia juga perlu memperhatikan aspek-aspek tingkah-laku yang ada dalam masyarakat orang itu. Dia masih dapat melihat bahwa gestur-gestur nonverbal dari aksi-aksi di masa silam adalah tindakan yang dibutuhkan, penting, dan di pakai untuk hal-hal praktis. Perkembangan manusia saat ini mengubah kebutuhan-kebutuhannya dan dengan demikian mengubah banyak tingkah-laku fisiknya. Satu situasi pada masa silam yang harus dipenuhi dengan aksi fisik, sekarang ini dapat diatasi dengan teknologi canggih. Tetapi impuls atau rangsangan dari tingkah laku praktis tersebut masih ada, hanya sekarang menjadi satu bentuk ekspresif yang tidak fungsional. Perasaan dan pikiran dapat disebut gestur. secara sistematis gestur terbagi menjadi dua bagian, yaitu fisik dan vokal, yang dapat dilihat dan yang dapat didengar. Gestur vokal dibagi lagi menjadi verbal (mengucapkan kata-kata) dan nonverbal (bunyi-bunyi yang kita gunakan, termasuk infleksi (ling) atau jaringan dan penekanan yang mempengaruhi arti emosional dari kata-kata yang kita ucapkan). Karena penulis naskah akan memberikan gestur-gestur verbal dalam bentuk kata-kata di naskah, tugas si aktor adalah menyelidiki aspek-aspek nonverbal dari gestur karakter yang dimainkannya, gestur-gestur fisik, postur, infleksi, dan sebagainnya.

Gestur dan Komunikasi
Ada gestur-gestur yang memberikan arti yang konsisten dalam situasi-situasi yang serupa. Dengan demikian berfungsi sebagai satu sistem simbolis atau tanda. Yang istilahnya lebih dikenal dengan nama bahasa tubuh. seni komunikatif yang diciptakan gestur dapat beragam dari yang universal sampai yang paling aneh, bahkan bodoh. Gestur dapat menggantikan kata-kata atau mendukung kata-kata.

Fungsi Gestur
Bahasa gestur dapat dibagi menjadi 4 kategori umum yaitu :
Ilustratif atau imitatif
Indikatif
Empatik
Austistik

Gestur yang sifatnya ilustratif adalah gestur yang disebut “Pantomimik” ketika mencoba mengkomunikasikan informasi spesifik atau bersifat khusus (“kontak itu besarnya setinggi ini dan selebar ini”). Gestur indikatif (berhubungan dengan bentuk verbal yang menggambarkan keadaan nyata), dipakai untuk menunjuk (“Di sebelah sana”). Gestur empatik memberikan informasi yang subjektif dari pada objektif, berhubungan bagaiman orang merasakan sesuatu (ketika kita mengatakan: “Sekarang, dengar aku!” sambil meninju kepalan tangan kita ke atas meja atau menunjuk jari kita kemuka musuh). Gestur Autistik (arti harafiahnya “kepada diri”) tidak dimaksud untuk komunikasi Sosial tetapi lebih diutamakan untuk komunikasi dengan diri sendiri. Misalnya, ketika seseorang yang sedang mendengar orang lain berbicara memiliki perasaan benci kepada lawan bicaranya tetapi harus menutupinya, maka dia akan melipat tangannya dengan rapat sekali dengan telapak masuk di sela-sela kedua ketiak di depan anda. Dengan tingkah laku rahasia ini, orang itu menyatakan aksi simbolis merasa puas ketika sedang mencekik lawan bicaranya. Walaupun gestur seperti itu sering tersembunyi, secara tidak sadar, sering kali orang di sekitar kita dapat mengenali dan merasakannya. Tentu saja realitanya keempat kategori ini tidak nyata terpisah tetapi sengaja dipisah untuk memudahkan pelajaran kita tentang gestur dan hampir semua gestur yang kita pakai adalah kombinasi dari dua atau tiga kategori di atas. (Eka D. Sitorus, hal. 81-82:2003). Tubuh harus sehat, tidak soal bagaimana bentuknya, apakah ia kurus, gemuk, buntet, jangkung. Sebab dengan tubuh yang sehat, harapan berhasilnya penampilan peran sesuai tuntutan TPR (Tubuh, Pikir, Rasa) akan bisa terpenuhi. Namun segera pula harus diingat, bahwa keadaan tubuh yang sehat itu bertalian erat dengan kemampuan yang beralas pada kemauan mengikuti latihan-latihan khusus, yakni terkoordinasi untuk melakukan tugas akting yang harus menurut ikatan-ikatannya dan berkembang leluasa menurut kemungkinan-kemungkinan tak terduga di mana ia melakukan improvisasi dengan leluasa.

PRAKTEK:
1. Olah Tubuh
Senam
Menari
Yoga
Meditasi

2. Olah Vokal
Teknik melatih rongga mulut
a. Pengucapan lafal yang benar
b. Melatih kelenturan rahang bawah
- Membuka rahang bawah selebar 3 jari
- Gerakkan rahang bawah ke kanan dan ke kiri
- Gerakkan rahang bawah ke depan

Melatih kelincahan lidah
a. Memutar lidah ke kiri dan ke kanan
b. Menjulurkan lidah keluar
c. Menempel lidah ke langit-langit atas, kemudian tekan lidah bagian tengah kuat-kuat sehingga otot lidah bagian bawah sedikit terasa sakit.

Melatih kelenturan otot bibir
a. Menarik kedua bibir ke dalam, kemudian tiuplah keluar kuat-kuat sehingga menimbulkan bunyi “puuh”.

Resonator (pita suara)
Membantu menguatkan getaran suara sehingga menjadi suara yang kuat. Organ tubuh berfungsi sebagai resonator.
a. Rongga mulut
- Memproduksi suara yang jelas, dengan cara menarik ke bawah rahang bawah

b. Rongga dada (letaknya antara tulang dada dengan tulang punggung sebelah belakang).
mampu memproduksi suara yang rendah dan berat
Ringga dada sebelah atas
Rongga dada sebelah depan
Rongga dada sebelah tengah
Rongga dada bagian belakang

c. Rongga hidung
- Penyaring udara masuk paru-paru mampu memproduksi suara sengau, antara lain: konsonan m, n, ny, ng.
Sedangkan untuk vokal dilarang menggunakan rongga hidung sebagai resonator.

* Latihan pernafasan
- Menghirup udara melalui hidung sebanyak 4 ketukan kemudian udara ditahan 2 ketukan, setelah itu dihembuskan lewat mulut 4 ketukan. Hal ini dilakukan secara berkesinambungan tanpa terputus-putus sampai batas maksimum kelelahan pemain yang bersangkutan. Hal yang perlu diingat dalam latihan ini adalah mengusahakan agar setiap ketukan, waktu menghirup dan menghembuskan udara mengandung volume yang sama. Keculi itu waktu menahan nafas benar-benar paru-paru dalam keadaan tenang (tidak menghirup atau menghemnbuskan udara).setelah dikuasai, kemudian jumlah ketukan ditingkatkan dengan perbandingan kelipatan yang sama, yaitu n=1/2 (n=jumlah menghirup dan menghembuskan nafas, misalnya 6=3, 8=4, dan seterusnya, 1/2n= jumlah ketukan manahan nafas).
- Menghirup udara sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat, kemudian ditahan 4 ketukan dan dihembuskan 8 ketukan. Setelah dikuasai, jumlah ketukan pada waktu menahan dan menghembuskan udara ditingkatkan dengan kelipatan n=2n (n= jumlah ketukan manahan, 2n= jumlah ketukan menghembuskan udara), sedangkan waktu untuk menarik nafas tetap dalam hitungan waktu relatif singkat, sesingkat-singkatnya.
- Menghirup udara sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat, kemudian ditahan sementara waktu atau tanpa dihitung dengan ketukan tetapi cukup dengan perasaan, kemudian dihembuskan dalam waktu relatif lama sesuai dengan kekuatan pemain yang bersangkutan. Dalam hal ini diusahakan agar volume udara yang dikeluarkan dari awal sampai akhir mengandung intensitas yang rata/sama. Usahakan jangan sampai terjadi adanya kesan dipaksakan sehingga mengakibatkan adanya ketegangan yang berlebihan pada alat-alat rongga badan.
- Setelah ketiga cara tersebut benar-benar dikuasai agar dicoba lagi cara latihan tersebut di atas, tetapi pada waktu menghembuskan udara diganti produksi suara dengan vocal “a”, dengan urutan; saat menghirup dan menahan udara sama dengan cara latihan di atas. Demikian seterusnya ditingkatkan untuk vocal yang lain e, i, o, u.

- Mula-mula hirup nafas banyak-banyak melalui hidung lalu hembuskan dengan sehabisnya. Diakhir hembusan sertai
dengan suara keras sehabisnya. Misalnya, “hah !” lakukan ini sebanyak 10 kali.
- Lakukan hal yang sama, tetapi kini dengan menghitung, yaitu ketika menghirup, hitunglah setehap demi setahap
sampai 10 kali, lalu hembuskan pula dengan hitungan 10 kali. Jadi menghirup dan menghembus nafas, tidak seperti
yang pertama lagi.
- Lakukan lagi pernafasan seperti yang kedua, tetapi kini dengan menaikkan kedua belah tangan pelan-pelan secara
berangsur-angsur dengan hitungan dari 1 sampai 10, lalu turunkan juga pelan-pelan dan berlangsung secara
berangsur dari 1 sampai 10 (jadi ketika mengambil nafas tangan dinaikan dan ketika mengeluarkan nafas, tangan
diturunkan). Di akhir hitungan sertai kembali suara keras sehabisnya, “hah !”


*Latihan Menyanyi
-Belajar menempatkan suara dengan nada
*Mendeklamasi
- Coba baca dan hafalkan salah satu puisi dengan cara datar saja, tetapi juga dengan keras-keras, tanpa emosi apa-
apa. Perhatikan perkembangan bagaimana yang terjadi dalam emosi.
- Baca dan hafalkan pula salah satu puisi dengan cara memenggal suku kata demi suku kata sehingga terkesan puisi
itu hanya sebagai rangkaian yang putus-putus-perhatikan perkembangan bagaimana yang terjadi dalam kehendak.
- Baca dan hafalkan pula salah satu puisi sambil meminta 4 orang menarik-narik tubuh kearah yang berlawanan; dua
orang menarik-narik kedua tangan ke arah utara, dan dua orang lainnya menarik-narik kedua kaki ke arah selatan-
perhatikan perkembangan kosentrasi yang terjadi dalam kemajuan.

3. Panca Indra
*Indra Lihat;
- Melihat dalam membayang orang yang sedang bunuh diri dengan jalan menggantung lehernya di atas dapur.
- Membayangkan mata sedang melihat seorang perempuan tua sedang menyeberang jalan lalu tiba-tiba sebuah mobil
menabraknya, dan ia terpental, kepar-kepar, mati.
- Membayangkan mata sedang melihat seorang telanjang bulat , ia mungkin gila, ia mungkin pacar, ia mungkin model
yang tengah dilukis oleh pelukis.
- Membayangkan mata sedang melihat seorang anak balita lepas dari tangan ibunya lantas berlari kejalan raya.

* Indra Dengar
- Membayangkan telinga sedang mendengar ban mobil selip di tikungan lalu meanbrak tiang listrik.
- Membayangkan telinga sedang mendengar orang berteriak minta tolong karena terhanyut di sungai
- Membayangkan telinga sedang mendengar lolong anjing di malam hari lantas ia merasa terasing dan gamang.
- Membayangkan telinga sedang mendengar burung peliharaan berkicau dan hati merasa plong.

*Indra Cium
- Membayangkan hidung sedang membau aroma sambel goreng terasi.
- Membayangkan hidung sedang membau comberan yang mampet di musim kemarau dan ia duduk menghadapi
hidangan makan siang.
- Membayangkan hidung sedang membau keringat orang di sebuah kendaraan umum yang sesak.
- Membayangkan hidung sedang membau parfum yang digunakan oleh seorang yang berkesan dalam dirinya.
- Membayangkan hidung sedang membau durian, baunya dibuka di hadapannya, dan ia tidak suka bau ini.

*Indra Kecap
- Memperagakan sedang mencicipi makanan yang pertama kali dikenal.
- Memparagakan sedang menikmati sesuatu yang tidak enak, ingin muntah, tetapi menghormati tuan rumah yang
menghidangkannya.
- Memperagakan orang yang sedang kepedasan oleh lombok dan minum air panas.
- Memperagakan sedang mengunyah onde-onde yang gulanya masih panas.
- Memperagakan bagai mana seorang koki mengecap makanan di atas api kompor,apakah sudah pas bumbu-
bumbunya.

*Indra Rasa
- Memperagakan bagaimana dipeluk oleh orang yang tidak disukai.
- Memperagakan bagaimana rasa tubuh di ruang AC yang sangat dingin dan ia berpenyakit asma.
- Memperagakan bagaimana rasa dibelai kekasih, dicium di leher dan sekonyong datang orang yang lebih berhak.
- Memperagakan bagaimana rasa menunggu terlalu lama di sebuah ruang yang sangat panas.
- Memperagakan bagaimana rasa tubuh ditarik oleh seorang anak yang merengek minta dibelikan es krim.

Konsep Penyutradaraan

Konsep
“I mangge Mpobilisi”
Karya Ashar Yotomaruangi Sutradara M.Noerdianza


Nampaknya kehidupan tradisi kita kian rapuh
begitu banyak usaha, terutama dalam bentuk pertunjukan
baik teater, musik, tari, yang mengangkat kebudayaan lokal
dan kurang mendapatkan perhatian
Sudah demikian berurat akar di dalam kehidupan masyarakat kita?
Adakah tradisi yang kita agul-agulkan yang selalu membuat diri kita menepuk dada sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai adiluhung
sebagai khasanah kehidupan kita masih berfungsi untuk menahan laju, atau minimal menciptakan suatu cara berpikir kritis, jernih, dan mendalam demi kemajuan seni dan kebudayaan lokal
Di mana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. berangkat dari motto inilah pertunjukan berbahasa kaili akan dipentaskan, sebab bahasa tidak lepas dari ciri, watak, yang menggambarkan kepribadian diri seseorang di mana ia lahir dan dibesarkan. Teater berbahasa kaili tentunya masih begitu asing untuk dipentaskan, mengingat kota Palu tidak hanya didiami suku kaili saja. Hal tersebut bukanlah kendala melainkan motivasi dan tugas kita bersama mengangkat bahasa kaili kepermukaan. Kita harus berani bermimpi, karena dengan mimpi kita akan terus terpacu unuk melakukan berbagai hal (Rusdi Mastura, 2011: 94).
Peristiwa teater selama ini hanya berpusat di kota tanpa melibatkan masyarakan pinggiran kota. Dengan adanya teater berbahasa kaili yang terjun ke desa-desa, kaki-kaki gunung, sudah barang tentu akan lebih mempererat psikologis dan sosiologis dengan masyarakat setempat. Beberapa alasan dan opini di atas yang sebenarnya menjadi kegelisahan, stimulan sekaligus motivasi Sanggar Seni Lentera untuk kembali membuat pementasan. Maka untuk menjawab kerinduan publik teater di Kota Palu, SSL akan muncul dengan produksi teater berbahasa Kaili. SSL kembali menyuguhkan dengan format ”Teater Berbahasa Kaili” dengan konsep ruang pemanggungan out door,

Pertunjukan Teater berbahasa Kaili dengan juduI “I Mangge Pobilisi” karya Ashar Yotomaruangi akan dipentaskan keliling dari kampung ke kampung. Pilihan tempat pementasan Sanggar Seni Lentera out door setting yang digunakan merespon ruang yang ada. Anggaplah ini sama halnya mengunjungi rumah sendiri dan mengakrapinya. Rumah yang nanti kita menciptakan peristiwa teater bersama-sama. Peristiwa kebudayaan dengan melibatkan unsur apa saja dan siapa saja. Peristiwa dan perjumpaan di luar rumah yang hangat dan penuh kekeluargaan.

Profil Singkat Organisasi
Sanggar Seni Lentera

Dengan bermodalkan pengalaman, semangat, kemauan, keberanian dan kemampuan, Musa Abdul Kadir, Husen Abdul Kadir, Petrus. Mendirikan organisasi seni yang diberi nama Sanggar Seni Lentera (SSL). Tepatnya ditahun 1993. Ketiga pendiri menyatukan idiologi merangkum segala unsur seni baik teater, musik dan tari. Pengalaman membentuk pendewasaan diri untuk bepikir, berbuat, dan bertindak dalam mengambil keputusan dengan bijak. Pengalaman pula yang menentukan perbedaan ciri khas yang melahirkan teknik dan gaya pemanggungan. Dari pengalaman inilah lahir pengkayaan seni yang tumbuh dan berkembang di Kota Palu. SSL dengan pengalamannya memberanikan diri mengepakkan sayap mengajarkan pengetahuan seni ke tingkat Sekolah Menengah Atas, antara lain SMKN 3, SMKN 2, SMKN 1, SMAN 3 dan perekrutan anggota baru yang dianggap berkompoten di bidangnya. Kemudian dikukuhkan menjadi anggota SSL, yang nantinya mengajarkan seni di sekolahnya masing-masing. Lahirnya keinginan ini, disebabkan kian maraknya tauran antar sekolah. Maka kami memutuskan untuk terjun langsung di beberapa sekolah yang rawan akan konflik dan mendidik para siswa/siswi mengasa kemampuan daya khayalnya untuk mencipta karya seni. SSL dikenal sebagai dapur seni, yang melahirkan generasi muda yang sebelumnya awam tentang kesenian sampai pada akhirnya mampu untuk mandiri mencari jati diri.
Beberapa repertoar pertunjukan teater (historiografi) yang pernah diproduksi antara lain :

2000 : “AUM” karya Putu Wijya
1999 : “RAJA MAHDIA” karya Irwan Pangeran
2000 : “WARNA-WARNI” karya Irwan Pangeran
2002 : “KEPALA BATU BATU KEPALA” kaya Toto dan Naim, Dj
2002 : “BELENGGU AIR” karya Toto
2003 : ”TOMANURU” karya Ria/Musa
2002 : “TAIGANJA” karya Musa
“SANDO” karya Hidayat Lembang
2001 : ”PRAHARA GERILYA” karya Musa
: ”DOR” karya Putu Wijaya
2010 : “BOS” Karya M. Noerdianza
2010 : “TOPOGENTE” Karya Ashar Yotomaruangi
2011 : “KEHIDUPAN GALILEI” Judul Asli “Leben des Galile” karya Bertolt Brecht
Terjemahan Frans Rahardjo
2011 : “DIAM” Judul asli “Le Silence” karya: Jean Murriat Saduran; Bagdi Soemanto
2011 : “I MANGGE MPOBILISI” karya Ashar Yotomaruangi


Latar Belakang pengarang
.??????????

3. Analisis Lakon
Setelah melakukan penggalian latar belakang pengarang ditemukan bahwa naskah drama “Imangge Mpobilisi” ditulis di Palu pada tahun .... Sebelumnya naskah ini pernah dipentaskan di Gedung tertutup Taman Budaya dalam rangka “Technokrat Art Show 2010”, tetapi sangat disayangkan bahasa kaili kehilangan makna dan keunikan pengucapannya karena dibenturkan dengan bahasa Indonesia, sehingga pertunjukan berbahasa kaili kehilangan ruh dan keunikan serta warna dan bentuknya ketika dibenturkan dengan bahasa Indonesia. Patut diketahui bahwa Inti dari segala kemajuan adalah terbangunnya watak. Ini bukan keegoan diri melainkan sebagai penghargaan terhadap leluhur yang telah menelurkan kepada kita dan kita patut mengangkatnya kepermukaan, menjaga serta melestarikannya.
Dari penelitian ini dapat dilacak bahwa naskah drama “I mangge Mpobilisi” gaya penulisannya komedi satir, mengangkat realitas sosial suku Kaili, (aliran realis suryalis) Karya seni harus dinilai sebagai suatu tiruan, yakni tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Karya seni bersifat luas, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus melambangkan dan “mengandung” unsur universal (sifat umum) dalam metode atau cara individu, yaitu unsur yang khas manusiawi yang seolah-olah berlaku pada segala masa dan segala tempat. Dengan begitu karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu. Berdasarkan pengalamannya sendiri entah ia dalam posisi sebagai sutradara, pemain, ataupun penonton. Sebelum menganalisis struktur dan tekstur yang terkandung dalam naskah drama “I mangge Mpobilisi” karya Ashar Yotomaruangi.

“I mangge Mpobilisi” Dalam bahasa Kaili I penegasan dia laki-laki, kata Paman dipanggil dengan sebutan Mangge, sementara Mpobilisi, yakni selalu marah. Secara etimologis atau asal kata “I mangge Mpbilisi” yaitu paman yang selalu marah-marah.

Analisis untuk mengungkapkan struktur dan tekstur daramatik. Stuktur adalah pola pikir yang sangat mendasar di dalamnya terdapat perancangan hasil dari pengamatan panca indara. Analisis Struktur Menurut Bakdi Soemanto adalah bangunan pikiran lakon yang terdiri dari plot, character, theme.
Analisis Struktur
Plot/ alur
Alur dalam naskah drama “I mangge mpobilisi” tiga babak Awal,tengah, akhir. Naskah drama karya Ashar Yotomaruangi ini menyinggung realitas sosial masyarakat suku kaili tepatnya di Kota Palu Sulawesi Tengah. Sifat dan watak orang-orang Kaili yang keras dan tegas dan sangat disegani warga kampung sekitar, namun sebenarnya dibalik kekerasan dan ketegasannya tersimpan sifat perhatian dan kelembutan yang begitu besar daripada sifat kekerasannya. Lebih parahnya lagi, I mangge tukang tidur, setiap warga yang datang ribut-ribut di saat I mangge tertidur, jangan coba-coba, kau akan dimarahinya. I mangge memiliki seorang anak laki-laki bernama Yojo, yang sedang melakukan studi di Jakarta, di Jakarta Yojo bertemu dengan Enge juga sekampung dengan Yojo. Setelah Yojo dan Enge menyelesaikan studinya di Jakarta, Yojo dan Enge segera pulang ke kampung halaman bersama-sama dan mengajak Enge silaturahmi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, warga kampung menjemput kehadirannya. Tetapi sayang karena merasa gengsi baru pulang dari Ibu Kota Jakarta, Yojo berpura-pura tidak mengenal warga kampung sekitar. Lebih parahnya lagi Yojo dan Enge sudah melupakan adatnya, kehilangan etika berbicara dengan dialeg Jakarta dengan I Mangge dan Ina (istri I mangge). Karena merasa kesal mendengar Yojo berbicara ala Jakarta yang semakin membingungkan I Mangge, akhirnya I Mangge naik pitam, dan memukul Yojo dengan cambuk kuda, karena tidak tahan dengan rasa sakit Yojo langsung refleks memeluk kaki I Mangge sambil memohon ampun dengan bahasa Kaili. Karena takut Enge juga meminta ampun dengan bahasa Kaili. Emosi I mangge mulai redah, dan membujuk Yojo untuk menikah dengan Dei. Tetapi Yojo tidak mau dijodohkan dengan Dei, Yojo tetap berkeras lebih memilih Enge, I mangge kembali marah karena Yojo tidak mendengarkan perintahnya dan mengusir Yojo dari rumahnya..akhirnya Yojo pergi meninggalkan rumahnya dengan tangis kesedihan, baru berapa langkah meninggalkan rumah I mangge terjatuh karena sakit jantung yang dideritanya, Yojo berbalik sambil berlari menghampiri I mangge sambil memeluk I mangge dengan tangisan dan penyesalan yang mendalam.
Karakter
Imangge
Psikologisnya :Tegas dan keras
Sosiologis : Orang terpandang dan disegani dikampungnya, memiliki berhektar tanah, akhirnya jatuh
miskin
Fisiologis : Umur 50 tahun, kekar, berkumis panjang,

Tinana (istri Mangge)
Psikologis : Penyayang, keras,
Sosiologis : Ibu rumah tangga
Fisiologis :Umur 43 tahun, gemuk, kulit saumatanag

Yojo
Psikologis : Penakut dan sombong
Sosiologis : Seorang mahasiswa
Fisiologis : Umur 25 tahun, kukit kuning langsat, rambut hitam lurus, hidung tinggi.
Dei
Psikologis : Penakut
Sosiologis : Kelas menengah, seorang mahasiswa
Fisiologis :Tinggi kurus, Umur 24 tahun, hidung pesek, kulit kuning langsat,rambut lurus panjang.

Tambako1
Tambako 2
Kabilasa 1
Kabilasa 2
Kobilasa 3

Tema

“Akibat derasnya arus globalisasi adat terlupakan”

Analisis Tekstur Lakon
Naskah drama adalah pijakan dalam mewujudkan gagasan untuk memvisualisasikan pengembangan karakter atau watak tokoh serta unsur pementasan lainnya. Menafsir naskah terlebih dahulu memahami tekstur. Tekstur berasal dari kata text yang berarti tenunan yang dapat ditangkap dengan lima indra, dengan mempertimbangakan tekstur dari teks dramatik lakon dalam wujud teks tertulis dapat dibayangkan sosoknya. Istilah ini untuk menyebutkan tiga unsur dalam teks dramatik yakni dialog, mood dan spectacles.

Dialog
Drama ini memperlihatkan suatu gaya penulisan dengan ungkapan keseharian. Mengingat bahwa teks ini tidak memiliki narasi jalan yang dituju yakni melalui dialog yang ada pada teks lakon. Pertama harus menyajikan informasi, kedua, dialog harus mewujudkan karakter, ketiga, dialog harus mengiringi perhatian pada kepentingan plot, yaitu memberi tekanan pada makna dan informasi di dalamnya serta membangun reaksi yang dihasilkannya. Keempat, dialog menghidupkan tema naskah, kelima, dialog harus membantu pembentukan nada dan suasana kemungkinannya, keenam, dialog harus membantu meningkatkan tempo dan irama. Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton, melalui suara dan gerak tubuhnya. Menurut Roman Ingarden, teks lakon pada umumnya adanya dua unsur pokok, yang pertama disebut Haupttext, yakni primary text atau teks utama yang berwujud dialog tokoh-tokoh, dan Nebentext, yakni ancillary text atau teks tambahan yang sering juga disebut teks pembantu. Teks tambahan ini biasanya dicetak miring, diletakkan dalam kurung dengan huruf kapital, atau garis bawah.

Mood
Mood adalah suasana. Aristoteles menyebut bahwa suasana dan irama sebagai musik. Irama musik dapat digunakan sebagai pengganti istilah suasana dan irama pertunjukan, suasana sebuah pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta sebuah irama permainan. Penonton langsung menyaksikan aktor bergerak dengan irama, berbicara dengan irama, bahkan penonton langsung merasakan perubahan irama permainan karena pergantian intensitas cahaya. Penghadiran suasana dalam naskah drama “Imangge Mpobilisi” suasana perkampungan menggambarkan aktivitas keseharian warga kampung yang terlihat polos dan jujur bahkan terlihan over akting..
Spektakel
Melalui pencermatan naskah drama “Imangge Mpobilisi” Spektakel terdapat pada Set panggung dan dialeg aktor yang menggunakan bahasa Kaili.




Realis Surealis

Realisme
Realisme dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan. Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir. Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran objektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan, maka mereka pun tersisih dari pentas pula. Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal. Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William. Penulis pernah memainkan tokoh Fritz, Doni Kus Indarto memeranan Willem, Sari Nainggolan sebagai Corrie dan Sekar Pamungkas sebagai Jane waktu studi Penyutradaraan II pada Jurusan Teater ISI Yogyakarta di Kampus Utara Karangmalang (1987). Individu-individu yang hadir di atas pentas mewakili dirinya sendiri, mereka hadir dalam keamungan atau keunikan di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan pandangan hidup. Mereka adalah manusia darah daging yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realisme, protagonis dan antagonis merupakan sarana pelaksana konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial, spiritual atau alam. Ia berusaha mengalahkan, menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan, kelemahannya dengan tabah dan agung maka terjadilah tragedi. Jika mereka dapat menerima kelemahan dan keterbatasannya dengan tertawa maka lahir komedi. Apapun yang terjadi pihak protagonis dan antagonis merupakan individu yang menentukan. Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat. Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi. Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Artaud menolak aliran realisme..


Surealisme
Surealisme ialah gerakan budaya yang bermula pada pertengahan tahun 1920-an. Surealisme merupakan seni dan penulisan yang paling banyak dikenal. Karya ini memiliki unsur kejutan, barang tak terduga yang ditempatkan berdekatan satu sama lain tanpa alasan yang jelas. Banyak seniman dan penulis surealis yang memandang karya mereka sebagai ungkapan gerakan filosofis yang pertama dan paling maju. Karya tersebut merupakan artefak, dan André Breton mengatakan bahwa surealisme berada di atas segala gerakan revolusi. Dari aktivitas Dadaisme, surealisme dibentuk dengan pusat gerakan terpentingnya di Paris. Dari tahun 1920-an aliran ini menyebar ke seluruh dunia. Surealisme memengaruhi film seperti Angel's Egg dan El Topo. Kata surealisme diciptakan tahun 1917 oleh Guillaume Apollinaire dalam catatan program yang menjelaskan balet Parade, yang merupakan karya kolaboratif oleh Jean Cocteau, Erik Satie, Pablo Picasso dan Léonide Massine: "Dari persekutuan baru ini, hingga sekarang, perlengkapan dan kostum panggung di satu sisi dan koreografi di sisi lain hanya ada persekutuan pura-pura di antara mereka, terjadi sejenis super-realisme ('sur-réalisme') di Parade, di mana saya melihat titik mula serangkaian manifestasi semangat baru ini.