M. Noerdianza
Parade Tari Daerah adalah program tahunan Dinas Pariwisata Propinsi, cukup mendapat respon positif dari para kreografer Kota dan Kabupaten di Sulawesi Tengah. Pertarungan ide yang positif membuat seni tari di Sulawesi Tengah tumbuh dan berkembang dengan pesat. Konon kabarnya, kota Palu dulunya sebagai barometer kesenian bagi para pecinta seni di Kabupaten, kini bergeser seratus delapan puluh derajat, terbukti pada parade teater tahun lalu tepatnya di tahun 2010, garapan terbaik satu di berikan kepada Buol, terbaik dua Luwuk, dan terbaik tiga jatuh ke Kabupaten Poso. Hal ini tentunya menimbulkan sebuah pertanyaan, apa gerangan yang terjadi. Apakah para kreografer tari dan para penarinya kehilangan semangat mengembangkan seni budayanya, atau karena persoalan klasik yang terus - menerus terjadi antara birokrasi terkait dan senimannya.
“Masa bodoh, seberapa jauh kau mencintai dan memahami tradisi di Daerahmu, tunjukan dulu konsep karyamu baru boleh menuntut .!”
Atau karena seniman tari sendiri belum memahami betul seni budaya tradisi di Daerahnya, atau karena pengaruh derasnya arus globalisasi mengalir begitu cepat kekehidupan sosial kita, sehingga pemikiran-pemikiran kita tentang tradisi terkikis sedikit demi sedikit lalu lenyap begitu saja. Atau hanya karena mencari nama semata biar dibilang kreografer tari. Kasihan...
Para kreografer tari patut dipertanyakan tentang kemampuan pemahaman tari, tidak hanya sebatas penciptaan gerak, levelitas dan komposisi saja, melainkan konsep sebuah garapan, contoh kasus yang terjadi pada “Parade Karya Tari Daerah Tahun 2010,” Kabupaten Buol kehilangan kedaerahannya, yang muncul malahan budaya jawa; nampak dari kostum, make up, dan gaya komedialnya, sementara gaya penarinya pun ala Semar. Harus dipertanyakan, apakah ini parade tari Daerah Sulawesi Tengah atau Parade Tari JaSu (Jawa Sulawesi). Istilah modernnya “cross culture” (silang budaya), kalau memang demikian, konsep temanya harus diperjelas dong.
Paling menariknya lagi tidak pernah ada di temukan di Indonesia, adalah sikap kekeluargaan tradisi daerah yang begitu kental, sehingga garapan-garapan tari daerah bisa diwakili siapa saja. Donggala mayoritas penari dan kreografer orang Palu, Bangkep juga mayoritas orang Palu. Parigi juga demikian. Tidak ada salahnya jika demikian, tetapi yang menjadi persoalan para kreografer tari belum memahami budaya lokal daerah tertentu. Timbul lagi sebuah pertanyaan kenapa bisa demikian? Ya, tidak lain tidak bukan, untuk penghematan dana buat pembeli susu. Apakah sikap demikian patut dikatakan sebagai seniman/budayawan Kota Palu. Tidak salah lagi, bahwa “Parade Karya Tari Daerah” bukan ajang pencarian minat bakat generasi sebagai pondasi dan tonggak tumbuh dan berkembangnya tradisi budaya lokal daerah setempat. Melainkan dijadikan sebagai ajang Proyektor (proyek kotor)..para birokrasi tertentu.
Kalau memang Parade Karya Tari daerah konsumsinya Pariwisata ya tunjukanlah budaya lokal kedaerahanmu, bedahalnya dengan festival tari kreasi Daerah yang lebih menonjolkan kreativitas yang tentunya berangkat dari tradisi budaya lokal, sebab kesenian itu sendiri tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Bagaimanapun kebudayaan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.
Semoga ke depan gerakan kesenian berbasis lokal dapat mejadi perhatian bersama, yaitu sisi penyiapan sosial komunitas (social preparation) sebagai bagian dari pengembangan masyarakat (community Development) dan pengembangan ekonominya (economy development). Upaya ini harus mampu mendorong masyarakat bangkit dan berubah
No comments:
Post a Comment