Thursday, February 25, 2010

Pertunjukan Teater

“Bos”
Karya Sutradara M. Noerdianza
Asisten Sutradara Dikson

Taman Budaya Kota Palu Sulawesi Tengah
3 April 2010. 19.30 Wita

Sebagai sebuah kelompok teater, rasanya perlu arah yang jelas jika masih ingin hidup lebih lama lagi. Setelah itu dengan berbagai cara, Sanggar Seni Lentera mencari terus arah-arah tersebut dengan mementaskan berbagai gaya dan bentuk pemanggungan serta aliran dalam teater. Dari pengalaman inilah SSL baru menemukan berbagai macam pemikiran, alasan yang menjadi landasan dalam memilih. Minimalnya untuk mempertebal iman serta keberanian dalam pemilihan tersebut. Setelah sekian lama mengalami kevakuman bukan berarti hilang dari per-teater-an di kota Palu melainkan mengendapkan diri melakukan proses perenungan pencarian jati diri.
SSL akan kembali berproduksi mementaskan karya sendiri yang tentunya berangkat pada budaya lokal dengan keberangkatan isu sosial sebagai teks diberi judul “BOS” naskah sutradara M. Noerdianza. Asisten sutradara Dikson. Sebagaimana yang kita pahami bahwa kesenian itu sendiri tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Bagaimanapun kebudayaan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang dimana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.
Setiap individu mengalami pergulatan batin dengan dunianya yang memaksa manusia untuk bersikap dengan cara apapun demi mendapatkan apa yang menjadi kehendak. Sikap jujur adalah prioritas utama manusia dalam menyikapi kehidupan bermasyarakat. Bahkan sebaliknya sikap jujur hanya kolase semata, kecerdasan disalah gunakan hanya karena sebuah kepentingan. “Bos” mengkisahkan sekelompok masyarakat pemulung mengais rezeki di tumpukan sampah. Kehidupan modernitas mempengaruhi pola pikir manusia. Keinginan merubah hidup berakhir dengan penderitaan. Selalu saja ada hal-hal yang aneh, penuh dengan teka-teki yang sulit diterima logika.
Orang-orang sampah yang selama ini dianggap orang-orang yang terbelakang tentang segala hal. Tetapi di dalam lakon “BOS” ini, kisahnya tidak demikian. Cerita ini memutarbalikan fakta, bahwa peristiwa-peristiwa yang mereka ketahui dari koran-koran bekas yang ditemukan dijalan-jalan, dan tong-tong sampah menjadikan mereka para pemikir intelektual.
Bos mengkisahkan seputar realitas sosial kehidupan masyarakat pemulung di kota Palu yang menggambarkan peristiwa demi peristiwa sepanjang tahun 2000. Mulai di tahun 2005 sampai pada tahun 2010. Peristiwa tersebut dikemas sedemikian rupa kemudian menggabungkannya menjadi satu kesatuan hingga menjadikan alur dalam sebuah cerita, layaknya kolase atau seni tempelan. Peristiwa tersebut menyangkut kasus pelayanan rumah sakit yang lebih mengutamkan administrasi dari pada pasien, TPS, korupsi, kasus bank Century, teroris, berjudian, kasus narkoba, seni budaya, dan TKW sampai pada latar belakang sejarah kaili. Secara garis besar naskah “BOS” beraliran kontemporer . Teknik penggarapan dan gaya pemanggungan dibuat solah-olah realis.
Kontemporer berasal dari kata tempo atau waktu pada masa kini atau dewasa ini. Kontemporer tumbuh dan berkembang pada masa re-naisance. Dalam konteks pertunjukan, teater kontemporer kita temukan dalam lakon klasik. Seperti halnya di Negeri Eropa kita mengenal kisah cinta “Romeo dan Juliet”, “Oidipus”, di Indonesia kita mengenal cerita klasik wong Jowo “Roro mendut”, “Sampek Engtay”. Pada dewasa ini cerita klasik tersebut di rombak, memutar balikan fakta sesuai konteks kekinian, dan perubahannya bisa saja dilihat dari perubahan kostum, sett, properti, lakon, make up, pemeranan yang tidak lagi melihat latar belakang waktu, tempat dan peristiwa lampau melainkan peristiwa kekinian. Tetapi konvensi masa lalu tidak dibuang melainkan sebagai dasar pijakan, maka dalam kontemporer tidak ada pertanyaan yang terjawab secara otomatis, tidak ada gaya yang wajib dianut, tidak ada penafsiran yang selalu benar. Jean Paul sartre mengatakan bahwa manusia mendapat hukuman dengan hidup secara bebas. Dunia teater membebaskan sutradara berhadapan dengan hampir semua kehidupan tanpa batas, yang membawanya pada kegelisahan eksistensial yaitu kegelisahan yang mengerikan sebagai tantangan yang mendebarkan.
Realis adalah segala sesuatu yang nyata, segala sesuatu yang sama dengan realita. Aliran realis dalam seni, aliran yang menghasilkan karya seperti dalam realita kehidupan. Realita dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat lingkungannya. Namun bentuk dan media ekspresi dalam menghasilkan karya seni yang berbeda, menyebabkan penerapan realism dalam karya seni berbeda, antara karya seni satu dan lainnya. Realism dalam teater ialah untuk menciptakan sesuatu di atas panggung seperti “kenyataan” yang ada. Menciptakan ilusi kenyataan di atas panggung. Seolah-olah penonton menyaksikan apa yang terjadi seperti dalam kenyataan sehari-hari.
Sebagai seni kolektif yang tersusun atas 3 (tiga) komponen, seni teater mengalami banyak “hambatan” kendala, karena ketiga komponennya dapat mempunyai pendekatan yang sama atau “berbeda” ketiganya dapat menggunakan aliran yang sama, tetapi dapat juga salah satu komponen meng-ikuti “aliran yang tidak sama”.

Tuesday, February 2, 2010

Merpson Lokakarya Pekan Budaya dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah ke IX yang akan dilaksanakan di Palu 22-27 Juni bertempat di Palu Golden Hotel

Adapun yang dijadikan tanggapan pada tulisan ini,
Workshop Seni Pertunjukan
pada poin tiga
Workshop untuk guru-guru Kesenian baik tingkat SD, SMP, dan SMA.
Oleh
M. Noerdianza


Sebagai pecinta seni teater sangat mendukung adanya kegiatan ini. Sudah seharusnya kita memperkenalkan budaya kita kepada masyarakat luas, kalau bukan kita siapa lagi..? Tidak ada kata terlambat, kita tunjukan bahwa kita mampu berbuat melestarikan dan mengembangkan seni budaya di kota Palu Sulawesi Tengah, khususnya Indonesia dan umumnya pada dunia. Kita harus bersyukur dengan adanya klem Malaysia terhadap kesenian di Indonesia. Adanya klem tersebut membuka pikiran kita yang selama ini tertutup rapat hanya karena kepentingan individualisme, tanpa memikirkan betapa pentingnya pertumbuhan dan pelestarian seni budaya lokal, Begitu banyak gagasan-gagasan yang menarik dari Dinas Kebudayaan baik Kota maupun Propinsi. Tetapi untuk pengolahan manajemen pertunjukannya amburadul alias kacau. Kenapa hal ini terjadi? Ini sudah menjadi hukum alam siapa yang kuat dia yang dapat meskipun itu bukan bidangnya. Semoga saja masalah klasik ini tidak akan terjadi lagi.

Adanya Workshop guru-guru kesenan baik tingkat SD, SMP, SMA, para sarjana seni khususnya anak daerah diberikan tempat memberikan jasanya bagi daerahnya. Namun sebelumnya Teater sudah berbuat memberikan sumbangsih besar bagi daerahnya dengan mengadakan Workshop Teater Penyutradaraan dan Keaktoran dan waktu pelaksanaannya di bulan Oktober 2009 bertempat di Taman Budaya Kota Palu. Peserta workshop tersebut terdiri dari guru seni di tingkat SMA, Mahasiswa, Kelompok, Komunitas, dan Sanggar teater. Penulis kembali menandaskan workshop ini harus berkelanjutan tidak hanya sebatas workshop saja, melainkan semua peserta workshop penyutradaraan dan keaktoran diberikan ruang untuk berproduksi. Terlaksananya program berkelanjutan ini DKP bekerja sama dengan Dikjar, kemudian Dikjar memberi rekomendasi ke sekolah-sekolah bahwa DKP akan mengadakan Festival Teater Remaja (FTR). Semua peserta workshop penyutradaraan diterjunkan langsung ke sekolah-sekolah dan menyutradarai langsung di sekolah tersebut. Peserta terbaik dari festival Teater Remaja (FTR) akan mendapatkan piala dan piagam serta piala bergilir dari DKP. Piala bergilir tersebut akan menjadi rebutan layaknya petinju merebut sabuk emas. Tetapi dalam FTR, proses kreatif dalam penggarapan pentas yang menjadi ajang pertarungan untuk mempertahankan atau merebut piala bergilir dari DKP adalah proses kreatif penciptaan karya seni melalui drama atau teater. Oleh karena itu FTR menjadi kegitan tahunan. Dan FTR mulai berjalan di tahun 2009 bulan November. Semoga FTR berkelanjutan.