Monday, December 14, 2009

Orang Palu bicara tradisi Kaili

M. Noerdianza
Apa itu Palu?
Palu adalah sebuah kota tepatnya di Sulawesi Tengah, bukan Palu yang dipakai tukang kayu memalu paku. Saya pernah ditanya teman saya wong Jowo, nama aslimu siapa sih sebenarnya? Saya jawab Moh. Nurdiansyah, kok dipanggil Toto seperti nama orang jawa. Saya sendiri tidak tahu juga mas kenapa dipanggil Toto saya menjawab dengan ngawur dengan maksud menghibur mungkin sejak kecil sampai besar suka netek wakakak….teman saya tertawa. Awalnya nama saya Moh. Irfan mas, karena sakit-sakitan digantilah dengan panggilan Toto. Terus teman saya bertanya lagi, To aslimu nengdi? Saya jawab lagi. Palu. Teman saya itu tertawa lagi dengan ter-bahag-bahag saya bingung apa yang ditertawakan melihat teman saya tertawa saya pun ikut tertawa tanpa tahu sebab. Lucu ya To kata teman saya. Saya bertanya kenapa lucu? Ya jelas lucu besar di Palu lahir ditendang mati dibacok. Saya tersiggung dengan kata itu, sambil memperlihatkan senyum sinis. Tapi saya mengambil sisi positifnya menganggap bahwa ini awal dari sebuah keakraban hitung-hitung skalian memperkenalkan kepada mereka bahwa Palu itu ada di Sulawesi Tengah Bukan hanya Donggala yang mereka kenal. Saya merantau tidak ditendang tapi atas keinginan sendiri, sebab di Palu belum ada sekolah seninya mas. Jangankan sekolah seni keseniannya saja kurang mendapat dukungan. Kalau masalah mati itu urusan tuhan yang penting hubungan antar manusia berjalan dengan baik bersikap sopan dan santun. Jangan menimbulkan sesuatu yang memancing amarah. Teman saya itu diam sejenak seolah merasa bersalah iya..ya..To, betul juga kata pepatah mulutmu harimaumu, maaf ya To kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu. Ya sebab kata-kata itu doa astagfirullah…jawab kami berdua.
Eh..,ngomong-ngomong Kaili itu apa To?
Menurut tradisi lisan tumbuh di antara negeri Kalinjo dan Sigi Pulu. Begini ceritanya, sebenarnya keberadaan dan kebesaran orang di Kaili ada hubungan kisah epik I Lagaligo melalui tokoh Sawerigading. Ketika Sawerigading dari perjalanannya pulang dari negeri Cina untuk menemui perempuan yang dicintai dan dikawininya yang bernama Cudai, Sawerigading singgah di Ganti Ibukota kerajaan Banawa untuk bertemu dengan kerajaan Banawa. Ketika di Ganti itulah Sawerigading mendengar tentang negeri Sigipulu yang merupakan pusat Kerajaan Sigi yang dipimpin oleh seorang ratu yang cantik bernama Ngili Nayo. Berlayarlah Sawerigading menuju ke Kerajaan Sigi. Setelah memasuki teluk, dari kejauhan Sawerigading melihat pepohonan yang tinggi menjulang di sebelah Timur Teluk, ketika Sawerigading singgah di pelabuhan Sombe, Sawerigading memperoleh keterangan dari masyarakat di sekitar pelabuhan itu, bahwa pepohonan tersebut adalah pepohonan Kaili. sejak itu, para pelaut menyebut, Teluk Palu adalah Teluk Kaili dan masyarakat yang mendiami Lembah Palu dan sekitarnya disebut To Kaili. Itu sekilas tentang sejarah Kaili.
Tapi kenyataannya bukan demikian, bukan kisah tutur yang diceritakan terun temurun dari ayah kepada anaknya, bukan cerita dongeng yang menina bobokan kita, bukan juga cerita mitos atau pun legenda. ini realistis.
Ciri khas daripada watak seseorang bisa dipelajari dengan melihat latar belakang sejarahnya kawan. Tapi sayang pohon kaili tidak ada lagi sekarang punah tidak ada bibit-bibit, tidak ada generasi-generasi lagi, hanya itu-itu saja. yang lain entah di mana. Begitu juga dengan pohon Silaguri, simbol dari ketahanan dunia menurut mitos pohon Silaguri itu sangat besar sampai-sampai tiga orang yang berjejer berpegang tangan memeluk pohon itu tidak sampai juga. Bayangkan bagaimana besarnya, tapi sekarang besarnya se-kelingking. Hidup Itu kan penuh dengan tanda. Begitu banyak putra putri daerah yang berkwalitas tidak diberdayakan malah dipersulit. Padahal Otonomi Daerah sudah ada sekarang. Dulu dengan sekarang sama saja beda-beda tipis. Kalau dulu pejuang-pejuang kita yang melawan belanda, banyak yang diculik dibunuh dan ada juga yang dibuang ke tanah Jawa. Nah kalau zaman sekarang, dibunuh dengan cara halus, contoh kasus mau urus apa saja dipersulit itu sama saja membunuh harapan secara halus. Akhirnya terbuang, di deker-deker dan trotoar jalan.
Apakah ada tradisi leluhur di Palu To?
Ya..,jelas adalah no namanya Raego. Konon kabarnya, dahulu kala ada seorang petani yang sedang berburu di tengah hutan mendengar suara-suara melengking yang bersahut-sahutan. Ketika petani itu mencari sumber bunyi tersebut, dia terkejut melihat segerombolan rusa jantan dan betina sedang melakukan gerakan-gerakan yang ritmis serta se-sekali menghentak-hentakkan kaki mereka ke tanah, sambil mengeluarkan suara-suara melengking yang bersahut-sahutan. Dari gerakan rusa-rusa tersebut tarian ini diadaptasi dan ditirukan oleh masyarakat suku Kulawi Di kalangan masyarakat suku Kulawi, tarian ini dibawakan secara berpasangan membentuk setengah lingkaran atau satu lingkaran, di mana pria meletakan tangannya pada bahu wanita (mo mi olo). Tarian ini tidak menggunakan alat musik sebagai pengiring, tetapi mengandalkan alunan syair yang dinyanyikan oleh wanita (no wama) lalu dibalas oleh pria yang mengeluarkan suara-suara melengking (no wuncaka). Isi syair dalam tarian ini dibawakan sesuai dengan pesta adat yang sedang berlangsung.

Petama-tama seorang pria melantunkan sebuah syair (no timbeka) lalu diikuti oleh para pria lainnya (no umpui). Selanjutnya syair tersebut dibalas oleh seorang wanita (no wama). Tarian ini semakin riuh oleh lengkingan suara para pria yang bersahut-sahutan (no wuncaka). Pada bagian-bagian tertentu dalam tarian ini, para pria akan menghentak-hentakkan kaki mereka ke tanah (no haita) dan wanita menekukkan lutut mereka (no odu). Dalam tarian ini hanya seorang wanita saja yang berperan sebagai pelantun syair, sedangkan wanita yang lain hanya melakukan gerakan-gerakan ritmis saja. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa tarian ini tidak

menggunakan alat musik sebagai pengiring. Hal ini berarti bahwa tarian rego muncul ketika masyarakat suku kulawi belum mengenal alat musik. Saat ini sangat jarang generasi muda suku kulawi yang mengetahui tarian ini, sehingga jika tidak dilestarikan, dikhawatirkan suatu saat nanti tarian ini akan punah.

Raego itu apa?
Raego merupakan upacara ritual adat, yakni puji-pujian kepada Sang Pencipta. Puji-pujian tersebut di antaranya meminta keselamatan agar terhindar dari segala macam bencana (tolak bala), Upacara ritual adat Raego biasanya dilaksnakan pada saat sebelum dan sesudah panen. Raego juga sebagai spirit untuk menghantar para Tadulako ketika akan berangkat perang.

Kenapa gerakkan tari Raego terus-menerus berfokus pada kaki yang menghentak bumi?
Secara filosofis membangunkan benih-benih tanaman agar subur. Masyarakat adat setempat percaya bahwa segala unsur yang ada di alam ini bersemayam roh-roh leluhur, hentakan kaki sebagai penanda untuk memohon kepada tupu tana (penghuni tanah) agar diberikannya kesuburan terhadap benih-benih tanaman.

Ada juga upacara adat namanya Balia

Pengobatan tradisi Balia yang terdapat di daerah Sulawesi Tengah tepatnya desa Pakuli. Provinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu daerah yang kaya dengan pengetahuan dan kearifan lokal. Salah satu di antaranya banyak kearifan lokal tersebut adalah keberadaan sistem, pranata dan tata cara pengobatan tradisional. Sistem ini tumbuh dan berkembang ratusan tahun silam, dijalankan sebagai suatu metode bertahan hidup dan solusi atas permasalahan kesehatan yang mereka hadapi sehai-hari. Dalam sistem pengobatan tradisional inilah kita mengenal istilah sando, yakni sebutan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap menguasai keahlian mengobati penyakit. Dalam bahasa kaili, salah satu bahasa lokal tertua di provinsi ini, sando berarti orang yang dikaruniai kemampuan menyembuhkan penyakit, baik penyakit jasmani maupun rohani.

Salah satu daerah kantong sando yang paling penting di provinsi ini adalah desa Pakuli, sebuah desa di kecamatan Gumbasa, kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Di desa yang sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Desa ini juga kaya dengan aneka tanaman yang biasa juga menjadi bahan baku obat-obat tradisional. Istilah “pakuli” sendiri dalam bahasa Kaili berarti “obat”.

Keahlian mengobati berbagai penyakit ini mengantarkan sando pada strata sosial dan status budaya yang tinggi dikalangan masyarakan. Mereka sangat dihormati, dan sering dijadikan panutan bagi anggota masyarakat lainnya. Bercengrama dan berkunjung menemui penduduk yang menjadi pasiennya adalah salah satu pekerjaan rutin sando di samping obat-mengobati. Itulah sebabnya secara emosional hubungan mereka dangan masyarakat sangatlah dekat.

Di samping keahliannya mengobati penyakit, sando dipandang sebagai seorang pemuka adat, karena mereka juga biasanya sangat menguasai tata cara dan pranata adat, terutama pranata adat yang berhubungan dengan praktek pengobatan. Mereka diposisikan sebagai pelindung karena kemampuannya memediasi dan berkomunikasi dengan roh-roh leluhur. Lebih dari sekedar hubungan fisik antara manusia, interaksi antara masyarakat, sando dan roh-roh leluhur lebih menampakkan satu bentuk kesatuan religiositas yang berpern penting dalam memantapkan kehidupan pribadi sekaligus mengenalkan ikatan sosial di antara mereka.


Kapan biasanya upacara adat Balia dilaksanakan?

Biasanya diadakan pada saat memperingati hari besar kepahlawanan, kemerdekaan, kenabian, dan sebagainya. Adat disebut dengan upacara, yakni tanda-tanda kebesaran. Adat adalah sesuatu yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala hingga menjadi tradisi. Maksud tradisi tersebut, yaitu kepercayaan, kebiasaan, ajaran yang turun-temurun dari nenek moyang.

Balia terbagi menjadi dua suku kata “bali” dan “ia”. “Bali” berasal dari kata kembali. ”ia” menunjukkan diri si penderita, secara etimologis atau asal kata arti dari Balia, yakni kembalikan ia layaknya seperti semula. Dalam upacara Balia para peserta di wajibkan menggunakan atribut seperti siga pakaian adat bercorak kuning, atau putih, Buya Mbesa dan perangkat upacara ritual seperti Guma, Kaliavo, Tampi, Gimba, Lalove, dan Pingga Putih. Bentuk dominan upacara ini adalah No Taro, Gimba dan Lalove. Dan dade-dade, yang berisikan gane-gane.
Topo Taro

Peserta upacara akan terus menari hingga semuanya mengalami trance, kerasukan roh leluhur yang mereka sebut No Taro. Upacara biasanya diakhiri dengan penyembelian hewan, sebagai simbol persembahan atau tebusan atau kesalahan yang dilakukan oleh si penderita atau keluarganya. Besarnya kesalahan atau penyakit yang diderita oleh seseorang, itu dapat kita lihat dari besarnya hewan yang akan disembelih, dari ayam, kambing, sapi atau kerbau.

Setiap daerah memiliki kepercayaan terhadap tradisinya, yang diberikan secara turun-temurun dari ayah kepada anaknya. Mempertahankan tradisi leluhur dan menjaganya sebagai warisan tidak lain sebagai penanda ciri khas daerah tertentu. Dari tradisi tercipta gaya berbahasa, tingkah laku, sopan, santun dan sebagainya. Masyarakat adat percaya apabila melanggar aturan adat akan terus-menerus mendapat musibah. Di Provinsi Sulawesi Tengah kabupaten Donggal tepatnya desa Pakuli memiliki satu kepercayaan terhadap penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh ilmu kedokteran dan satu-satunya jalan yang ditempu melalui pengobatan tradisi Balia. Masyarakat setempat percaya bahwa penyakit yang diderita oleh si penderita adalah penyakit yang diakibatkan oleh gangguan mahluk halus atau roh leluhur, karena dianggap telah melanggar larangan adat atau tidak menghargai alam tempat di mana mereka tinggal.

Upacara no Balia diikuti paling sedikit tujuh orang to po Balia dan pemangku adat. Yang menjadi to po Balia yakni mereka yang dianggap bersih dari hadat kecil dan hadat besar, tujuannya agar roh halus yang dipanggil melalui mantra-mantra yang diucapkan Ntina Nubalia dengan mudah merasuki tujuh to po Balia. Mereka yang dirasuki ada hubungan keturunan, pertemanan, atau kembaran dari roh tersebut, to po Balia diistilahkan sebagai perahu yang digunakan sebagai perantara. Upacara Balia dilakukan di lapangan terbuka tepatnya di malam hari sampai menjelang pagi, upacara Balia dilakukan sehari semalam bahkan berturut-turut selama tiga hari tiga malam, tergantung penyakit yang diderita oleh si penderita.


To po Gimba
Dalam upacara Balia seseorang yang mengiringi topo taro dengan alat musik gendang dinamakan to po gimba. Ada tiga jenis pukulan yang sering digunakan untuk mengiringi para to po taro, di antaranya “Dudumpaku” jenis pukulan ini untuk memanggil roh. “Sarondayo Ri Batana” pukulan transisi sebelum mencapai trance. “Kancara Tampilangi” pukulan atau tempo cepat ketika to po Taro mencapai trance.

To po Lalove
To po lalove dalam upacara balia, yakni seseorang yang menggunakan alat musik tiup yang dikenal dengan suling, terbuat dari bambu, panjang kurang lebih 80 cm, teknik dan cara meniup alat musik tersebut layaknya orang meniup bara api, sehingga bunyi yang terdengar tidak terputus. Masyarakat setempat percaya bahwa alat musik ini digunakan untuk memangil roh halus, di tempatkan dalam kamar ukuran 1x1, diberi menyan atau dupa dan dibungkus dalam kain berwarnah merah atau kuning, pada hari-hari tertentu alat tersebut dikeluarkan dari tempatnya dengan syarat membaca mantra-mantra. Jenis bunyi atau irama yang dimainkan dalam alat musik lalove ini dinamakan Pantete Nabi, yakni memanggil dan mengeluarkan roh leluhur yang merasuki para to po taro.

Wah.., sayang ya kalau tidak dikembangan kata teman saya. Itu dia. Sebenarnya sudah sih, tapi apa dikata pemerintahnya saja kurang mendukung. Mereka yang tahu sejarah Kaili saja bisa dihitung dengan jari. Kenapa harus berharap dengan pemerintah? Pemerintah juga punya andil memelihara mas, apalagi mereka sebagai perwakilan daerah mau tidak mau memberi dukungan baik moril maupun materil. Saya bukan orang tradisi murni mas, saya lahir dan hidup dilingkungan modern tapi setidaknya kita haus tahu latar belakang tradisi kita sendiri, bukannya memanfaatkan tradisi demi satu tujuan. Wah..ngomong-ngomong tradisi tidak akan pernah selesai mas. Sampai sini dulu ya! Kapan-kapan kita sambung lagi.

No comments:

Post a Comment