Latar belakang munculnya absurditas
Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul “Le myth de sysiphe” dan novelnya “L’ estranger” (dasar pengulangan peristiwa tanpa makna) sekitar tahun 1920-an, kematian manusia menjadi persoalan yang harus dipertanyakan. Perang Dunia I dan kesepakatan perdamaian antara mereka yang berperang dan akhir Revolusi Rusia menunjukkan tidak ada kepercayaan pada setiap langkah yang diputuskan manusia. Tahun 1950-an bahasa telah kehilangan keabsahannya dan saat itu penonton sangat menyukai teater absurd sebagai seni popular yang memiliki obsesi pada pemikiran dan pengulangan yang konyol. Ionesco merasakan bahwa sebelum kehidupan menyembuhkan misteri dan makna hidup, kehampaan harus benar-benar dijelajahi. Dalam esainya yang berjudul “Notes et Countre notes” Ionesco menulis
“Untuk merasakan absurditas yang sebenarnya, absurditas kekonyolan bahasa telah berkembang mendahuluinya. Untuk menggapainya pertama kali kita harus membenamkan diri kita di dalamnya. Apa yang sebenarnya lucu adalah apa yang ada dalam kondisi aslinya; tak ada yang tampak mengejutkan bagiku kecuali kekonyolannya; surialislah yang muncul di antara genggaman tangan kita, diperbincangkan kita keseharian.” (Yudiaryani, 2002: 275-276).
Sekilas Tentang Absurd
Manusia adalah mahluk absurd dan cara menjalankan hidup pun dengan cara yang absurd. Setiap kata mencerminkan awal dan akhir permasalahan. Sikap tubuh aktor menunjukkan tehnik tersebut, yaitu sikap aktor yang sering membungkuk, sikap jongkok, dan gerak memutar, yang semuanya itu menunjukan tentang kehidupan awal dan akhir manusia. Absurd berarti ketiadaan, yang menunjukan keadaan tidak harmonis, pengulangan peristiwa tanpa makna. Menunjukkan manusia dalam kondisi “alienasi.” Maksud dari alienasi, yakni suatu formula baru dikemukakan Brecht berkaitan dengan masalah antar aktor dan penonton adalah penghancuran oleh beberapa metode teknis yang biasa dinamakan ilusi teaterikal sehingga menghalangi keterlibatan emosi penonton dengan pertunjukan. Dengan kata lain alienasi adalah pengasingan diri. Dalam sebuah pertunjukan teater alienasi ditampakkan melalui gejala dialog antar tokoh melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas. Penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non verbal.
Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Di sana ada penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada prilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Walaupun tetap ditulis dengan kata-kata lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari teks dramatiknya, inilah yang menjadikan sifat lakon absurd paradoksal. (Bagdi Soemanto, 2002: 309-310).
Analisis Naskah
Analisis adalah sebuah kajian atau pembedahan karya secara detail baik melalui observasi dan eksplorasi maupun buku-buku bacaan yang berkait erat dengan ide/gagasan awal. Penjelajahan ilmu pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam upaya pencarian apa yang disebut sebagai cahaya kebenaran (truth). Dalam pengembaraan tersebut, Ashar Yotomaruangi mencoba melihat segala sesuatu secara objektif dan tanpa pretensi, mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam karya tulisnya yang berisi kebenaran sejati, yang mengandung ide-ide filosofis melalui bahasa kata maupun tubuh. Penjelajahan ilmu pengetahuan, tidak lain dari penjelajahan kebenaran. Selain itu, ada kemungkin relasi lain antara tanda, citra, dan realitas, yakni pertama sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Kedua, citra menopangi dan memutar balikan realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopangi ketiadaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apapun, disebabkan citra merupakan simulaktrum dirinya yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan dengan realitas apapun [ ] di luar dirinya, oleh karena itu merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri-pure simulactrum.
Di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara dalam naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi, merekonstruksikan kembali naskah tersebut sesuai konsep garapannya. Akan tetapi tidak menghilangkan inti dari cerita naskah. Naskah itu sendiri adalah sebuah ide atau gagasan seorang pengarang yang mana ide atau gagasannya ditemukan dalam realitasnya dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan, yang di dalamnya terdapat struktur dan tekstur. Berikut di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara memaparkan secara rinci makna yang tersembunyi di dalam naskah.
“Topogente” diambil dari bahasa Kaili Ledo yakni Topo dan gente Topo adalah para pekerja sementara Gente yaitu Tanah liat yang dibentuk kotak (batu bata) Secara etimologis atau asal kata “Topogente” adalah para pembuat atau pekerja batu bata. Naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi ini mengkritik masalah Kerusakan Alam; mengenai tanah yang bopeng asap yang setiap harinya mengotori langit yang menyebabkan daya topang bumi menjadi goyah. Sementara dari sisi ke-pemimpinan; menyinggung pemerintahan yang kurang memperhatikan nasip para Topogente, sebab mereka tidak pernah diagendakan dalam program ES KA PE DE seperti Dinas Sosial dan Perindustrian. Para lelaki adalah para buruh atau para pekerja yang merelakan dirinya bekerja pagi hingga sore hari sebagai pencetak batu-bata, meskipun upah yang didapatnya tidak sebanding dengan pekerjaannya. Banyaknya pekerja batu bata di kota Palu 350. Pekerja batu bata di kota Palu sudah ada semenjak tahun 60-an. Naskah “Topogente” ini juga menyinggung kerapuan ekonomi, fisik dan mental para pembuat batu bata. Meskipun demikian sebagian kecil Topogente (para pencetak batu bata) tetap setia dengan pekerjaannya. inilah yang disebut dengan absurditas. Nietzsche mengemukakan hal tersebut dengan sebutan Amourfati, yakni mencintai apa yang dikerjakan hari ini dan hari esok meskipun pahit adanya. Manusia dibekali akal dan pikiran, yang melahirkan rasa ingin tahu, rasa ingin tahu inilah yang membawa manusia menggapai harapan dan keinginan di dalam eksistensinya.
Sementara lelaki satu sebagai pewarta, yakni orang yang menyampaikan kabar berita layaknya seorang pemimpin yang sedang berpidato di atas mimbar. Hand prop alat cetak batu bata yang digunakan lelaki satu berubah fungsi seolah menjadi lembaran kertas pengumuman. Sementara dalam naskah “Topogente” menghadirkan dialog-dialog yang penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan. Ilustrasinya dapat dilihan di bawah ini: “Berapa lama proses mencetak batu bata?” “Berapa harga satu truk pasir..?” “Berapa satu red tanah yang terpaksa dibeli dengan pihak lain?” “Berapa biaya berobat ketika sakit karena memaksa diri kerja pagi sore?” Sebandingkah harga batu bata dengan harga batu bara?” “Harga semen dan harga harga lain yang kita beli karena menjadi kebutuhan kita.” Sementara hasil pembakaran yang dijual lebih murah dari sebungkus rokok. Lelaki dua tidak memperdulikan keberadaannya nampak pada dialog berikut: “Lumayanlah ada hasilnya sedikit diselip di meja judi, dan toh anak istri kita belum juga kelaparan.” “Manusia adalah binatang berakal yang memiliki rasa lapar sedemikian parah dalam nurani dan kesadaran.”
Dialog tersebut sebagai simbol yang menggambarkan tentang manusia itu sendiri, yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Sementara tokoh perempuan yang terdapat dalam naskah “Topogente” adalah simbol bumi itu sendiri. Bumi itu sendiri ibarat negara yang berlubang-lubang dan belang-belang. Berlubang-lubang dan belang-belang adalah sebuah janji yang selalu diingkari. Janji tersebut berhubungan dengan lapangan kerja dan pemberantasan kemiskinan, akan tetapi pada realitasnya belum juga terwujud. Hal tersebut di atas berkait erat dalam dialog yang terdapat di dalam naskah “Topogente,” yakni “kentut.” Ketika mendengar kata kentut, yang terbesit di dalam pikiran kita adalah bau busuk. Bau busuk inilah yang diibaratkan sebuah janji yang tidak pernah ditepati. Sementara anak-anak sebagai generasi penerus bangsa atau negara ini menjadi tumbal keangkuhan idealisme individual yang tidak pernah berakhir. Mengharap sebuah ketenangan dan kedamaian tetapi kapan? Di mana kedamaian dan ketenangan itu ditemukan...? Hanya harapan dan penantianlah yang menemani kesendirian anak-anak itu. Berharap kebahagiaan itu akan datang (matahari) dan memeluk kedamaian yang hening (rembulan).
Jika dikaji dalam konvensi drama dialog dalam naskah “Topogente” sangat cerdas bagi para pekerja batu bata, karena menghadirkan dialog yang puitis bukan dialog yang realistis atau keseharian. Dunia seni adalah dunia kreatif, hal apa saja bisa dibenturkan, memutar balikan fakta dari realitas sebenarnya. Ini adalah pilihan atau gaya penulisan bagi pengarang.
Naskah “Topogente” menghadirkan dialeg lokal Buol (salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah) dan Kota Palu. Sementera Judul yang diambil dari bahasa Kaili, ini menyebabkan Judul akhirnya menjadi sebuah tempelan semata, “kenapa tidak bahasa Kaili saja yang dipakai.?” Mengingat Topogente juga ada di setiap daerah bahkan di kota-kota besar di Indonesia. Inilah yang menyebabkan sutradara lebih memilih menghadirkan dialeg untuk memperkenalkan budaya lokal melalui dialeg daerah, bahwa di kota Palu memiliki ragam dialeg dan bukan hanya dialeg saja yang dihadirkan, melainkan juga alat musik lokal, seperti gimba (gendang), kecapi (alat musik petik pada daerah pesisir kota Palu dan kabupaten Donggala), Kakula (sejenis bonang pada gamelan jawa atau talempong di sumatera barat) dan lalove (suling) dan garapan musik vocal tradisi. Ini sudah cukup mewakili. Kembali mengingat pada “Event Internasional Negarakretagama” yang akan di hadiri beberapa kota dan negara besar lainnya.
Struktur
Plot
Naskah “Topogente” alur ceritanya melingkar tidak ada akhir atau penyelesaian sebuah cerita, hanya menghadirkan peristiwa demi peristiwa dan menampakkan awal adegan sama persis pada akhir adegan, perbedaanya terdapat pada dialog seperti ilustrasi di bawah ini:
Lelaki 1 :Saudara-saudara sekalian……………………………………………………………………………………………………………..kepada yang mau mendengar pengumuman (Hal. 1)
Pada ending atau akhir adegan dialognya dapat dilihat di bawah ini:
Lelaki 1 : Saudara-saudara sekalian saya akan menyampaikan kabar…………….
................................kepada calon pemimpin yang akan datang (Hal. 6)
Karakter
Tokoh adalah bahan paling aktif sebagai penggerak dalam cerita. Tokoh adalah sumber utama terjadinya suatu peristiwa yang muncul dan hadir hingga akhirnya berkembang menjadi satu bangunan peristiwa dialog, baik melalui tubuh maupun kata. Tokoh dalam naskah “Topogente” dimainkan dalam dua karakter, berawal dari tokoh dewasa kemudian para pemain berubah menjadi anak-anak. Adapun analisis tokoh dewasa sebagai berikut:
Lelaki 1 : Psikologis: Tegas.
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Tinggi kurus.
Lelaki 2 : Psikologis: Mudah marah
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata
Fisiologis : Kurus.
Lelaki 3 : Psikologis: Takut dan tertekan
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Kurus.
Perempuan : Tegas, sabar. dingin. Simbol bumi, tanah, dan negara yang menjadi korban keangkuhan manusia, meskipun demikian dia tidak pernah menyerah.
Tema
Menunjukan arah tujuan cerita. Tema sama halnya dengan pondasi bangunan rumah. Sebagus apapun rumah, tanpa campuran yang baik bangunan itu akan retak dan runtuh. Fondasi di sini adalah dasar atau pijakan bahwa tidak ada bangunan cerita drama yang baik tanpa sebuah tema. Tema yang terkandung dalam naskah Topogente “ Penderitaan tanpa sebuah akhir.”
Tekstur
Dialog
Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton melalui suara dan gerak tubuh. Dalam naskah “Topogente” Ashar Yotomaruangi menghadirkan dialog sastra yang memiliki nilai filosofis dan menggabungkannya dengan bahasa keseharian. Ilustrasinya dapat dilihat di bawah ini:
Perempuan : Dunia sebagai karya tuhan yang terus berduka oleh luka ketidakberdayaan kalian para Topogente dipukul sembilan, dipukul dua belas, dipukul tiga, dipukul enam. Itulah sebabnya bopeng-bopeng dataran tanah diakibatkan oleh kita Topogente adalah juga bopeng-bopeng dataran hidup yang terus menerus dinikmati (Hal. 5)
Sementara penghadiran bahasa keseharian dan dialog yang minim:
Lelaki 2 : Bilang saja apa isi pengumumannya.
Lelaki 1 : Jangan dulu..jangan mendesak kamu.
Lelaki 2 : Bukan mendesak kamu yang kelamaan bikin susah orang saja.
Lelaki 3 : Kamu juga terlalu kasar (Hal. 1)
Sutradara menghilangkan beberapa dialog yang dianggap verbal akan tetapi dialog tersebut tidak dibuang melainkan dipindahkan ke tubuh aktor, contoh sebagai berikut:
Lelaki 1 : (Ya..sebab pembakaran benda padat yang kita lakukan bertahun-tahun setiap harinya mengotori langit daya topang bumi goyah (Hal. 2)
Suasana
Suasana sama halnya dengan irama. Suasana dalam pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta irama. Dalam naskah “Topogente” pada awal adegan menghadirkan tempo cepat, sebab lelaki 1 masuk dengan tergesa ingin mengabarkan berita, kemudian berubah menjadi tegang, dengan hadirnya lelaki dua yang tidak sabar menunggu kabar berita. Ketegangan pun menjadi sebuah lelucon. Semangat kerja pencetak batu bata yang penuh dengan keharmonisan digambarkan melalui gerak rampak para lelaki hingga terciptalah bunyi yang beraturan, bunyi tersebut lambat laun berubah menjadi kacau dan tak beraturan alias caos. Kacau dan tak beraturan tersebut adalah simbol realitas kehidupan manusia dalam keberadaannya.
Rangkuman
Berawal pada tempo cepat kemudian berubah menjadi tegang lalu ketegangan pun menjadi sebuah lelucon yang membawa pada sebuah keharmonisan tiba-tiba muncul lagi kekacauan yang menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tanpa sebuah akhir.
Spektakel
spektakel efek khusus dalam naskah yang diciptakan. Spektakel suatu daya tarik yang hadir secara visual di atas panggung. Spektakel yang dihadirkan dalam naskah “Topogente” terdapat pada teknik muncul pemain, kostum, gerak rampak pemain yang menghadirkan irama, hand prop tidak hanya berfungsi sebagai alat cetak batu bata, tetapi bisa menjadi multifungsi, yakni lembar kertas pengumuman, bantal, borgol, bayi, dan juga pigura.
Setting / latar
Waktu : Terjadi dalam satu hari dimulai dari pagi sampai sore hari.
Tempat : Tanah lapang
Peristiwa : Pertemuan yang menjadi perdebatan antara para pekerja batu bata.
Sinopsis
Berawal pada sebuah kegelisahan eksistensi. Kerja tiada lelah, nasib para pencetak batu bata yang tidak kunjung berubah. Bagaimana kita menangani hal yang berkait erat dengan keselamatan pendidikan, kesehatan dan lingkungan? Melihat kesejahtraan dan pengembangan usaha para Topogente? Dampak hubungan manusia, alam dan lingkungan yang semakin hari semakin nampak. Tanah-tanah menjadi bopeng, asap pembakaran setiap hari mengotori langit. Akibatnya daya topang bumi menjadi goyah. Perdebatan panjang yang tak kunjung usai....Kenapa? Bagaimana? Siapa? Di mana? Ke mana? Ini gelap, Lentera tak akan pernah padam..! kepada calon pemimpin yang akan datang, akankah kita??? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Monday, June 28, 2010
Topogente sutradara M. Noerdianza
Latar belakang munculnya absurditas
Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul “Le myth de sysiphe” dan novelnya “L’ estranger” (dasar pengulangan peristiwa tanpa makna) sekitar tahun 1920-an, kematian manusia menjadi persoalan yang harus dipertanyakan. Perang Dunia I dan kesepakatan perdamaian antara mereka yang berperang dan akhir Revolusi Rusia menunjukkan tidak ada kepercayaan pada setiap langkah yang diputuskan manusia. Tahun 1950-an bahasa telah kehilangan keabsahannya dan saat itu penonton sangat menyukai teater absurd sebagai seni popular yang memiliki obsesi pada pemikiran dan pengulangan yang konyol. Ionesco merasakan bahwa sebelum kehidupan menyembuhkan misteri dan makna hidup, kehampaan harus benar-benar dijelajahi. Dalam esainya yang berjudul “Notes et Countre notes” Ionesco menulis
“Untuk merasakan absurditas yang sebenarnya, absurditas kekonyolan bahasa telah berkembang mendahuluinya. Untuk menggapainya pertama kali kita harus membenamkan diri kita di dalamnya. Apa yang sebenarnya lucu adalah apa yang ada dalam kondisi aslinya; tak ada yang tampak mengejutkan bagiku kecuali kekonyolannya; surialislah yang muncul di antara genggaman tangan kita, diperbincangkan kita keseharian.” (Yudiaryani, 2002: 275-276).
Sekilas Tentang Absurd
Manusia adalah mahluk absurd dan cara menjalankan hidup pun dengan cara yang absurd. Setiap kata mencerminkan awal dan akhir permasalahan. Sikap tubuh aktor menunjukkan tehnik tersebut, yaitu sikap aktor yang sering membungkuk, sikap jongkok, dan gerak memutar, yang semuanya itu menunjukan tentang kehidupan awal dan akhir manusia. Absurd berarti ketiadaan, yang menunjukan keadaan tidak harmonis, pengulangan peristiwa tanpa makna. Menunjukkan manusia dalam kondisi “alienasi.” Maksud dari alienasi, yakni suatu formula baru dikemukakan Brecht berkaitan dengan masalah antar aktor dan penonton adalah penghancuran oleh beberapa metode teknis yang biasa dinamakan ilusi teaterikal sehingga menghalangi keterlibatan emosi penonton dengan pertunjukan. Dengan kata lain alienasi adalah pengasingan diri. Dalam sebuah pertunjukan teater alienasi ditampakkan melalui gejala dialog antar tokoh melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas. Penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non verbal.
Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Di sana ada penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada prilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Walaupun tetap ditulis dengan kata-kata lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari teks dramatiknya, inilah yang menjadikan sifat lakon absurd paradoksal. (Bagdi Soemanto, 2002: 309-310).
Analisis Naskah
Analisis adalah sebuah kajian atau pembedahan karya secara detail baik melalui observasi dan eksplorasi maupun buku-buku bacaan yang berkait erat dengan ide/gagasan awal. Penjelajahan ilmu pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam upaya pencarian apa yang disebut sebagai cahaya kebenaran (truth). Dalam pengembaraan tersebut, Ashar Yotomaruangi mencoba melihat segala sesuatu secara objektif dan tanpa pretensi, mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam karya tulisnya yang berisi kebenaran sejati, yang mengandung ide-ide filosofis melalui bahasa kata maupun tubuh. Penjelajahan ilmu pengetahuan, tidak lain dari penjelajahan kebenaran. Selain itu, ada kemungkin relasi lain antara tanda, citra, dan realitas, yakni pertama sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Kedua, citra menopangi dan memutar balikan realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopangi ketiadaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apapun, disebabkan citra merupakan simulaktrum dirinya yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan dengan realitas apapun [ ] di luar dirinya, oleh karena itu merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri-pure simulactrum.
Di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara dalam naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi, merekonstruksikan kembali naskah tersebut sesuai konsep garapannya. Akan tetapi tidak menghilangkan inti dari cerita naskah. Naskah itu sendiri adalah sebuah ide atau gagasan seorang pengarang yang mana ide atau gagasannya ditemukan dalam realitasnya dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan, yang di dalamnya terdapat struktur dan tekstur. Berikut di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara memaparkan secara rinci makna yang tersembunyi di dalam naskah.
“Topogente” diambil dari bahasa Kaili Ledo yakni Topo dan gente Topo adalah para pekerja sementara Gente yaitu Tanah liat yang dibentuk kotak (batu bata) Secara etimologis atau asal kata “Topogente” adalah para pembuat atau pekerja batu bata. Naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi ini mengkritik masalah Kerusakan Alam; mengenai tanah yang bopeng asap yang setiap harinya mengotori langit yang menyebabkan daya topang bumi menjadi goyah. Sementara dari sisi ke-pemimpinan; menyinggung pemerintahan yang kurang memperhatikan nasip para Topogente, sebab mereka tidak pernah diagendakan dalam program ES KA PE DE seperti Dinas Sosial dan Perindustrian. Para lelaki adalah para buruh atau para pekerja yang merelakan dirinya bekerja pagi hingga sore hari sebagai pencetak batu-bata, meskipun upah yang didapatnya tidak sebanding dengan pekerjaannya. Banyaknya pekerja batu bata di kota Palu 350. Pekerja batu bata di kota Palu sudah ada semenjak tahun 60-an. Naskah “Topogente” ini juga menyinggung kerapuan ekonomi, fisik dan mental para pembuat batu bata. Meskipun demikian sebagian kecil Topogente (para pencetak batu bata) tetap setia dengan pekerjaannya. inilah yang disebut dengan absurditas. Nietzsche mengemukakan hal tersebut dengan sebutan Amourfati, yakni mencintai apa yang dikerjakan hari ini dan hari esok meskipun pahit adanya. Manusia dibekali akal dan pikiran, yang melahirkan rasa ingin tahu, rasa ingin tahu inilah yang membawa manusia menggapai harapan dan keinginan di dalam eksistensinya.
Sementara lelaki satu sebagai pewarta, yakni orang yang menyampaikan kabar berita layaknya seorang pemimpin yang sedang berpidato di atas mimbar. Hand prop alat cetak batu bata yang digunakan lelaki satu berubah fungsi seolah menjadi lembaran kertas pengumuman. Sementara dalam naskah “Topogente” menghadirkan dialog-dialog yang penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan. Ilustrasinya dapat dilihan di bawah ini: “Berapa lama proses mencetak batu bata?” “Berapa harga satu truk pasir..?” “Berapa satu red tanah yang terpaksa dibeli dengan pihak lain?” “Berapa biaya berobat ketika sakit karena memaksa diri kerja pagi sore?” Sebandingkah harga batu bata dengan harga batu bara?” “Harga semen dan harga harga lain yang kita beli karena menjadi kebutuhan kita.” Sementara hasil pembakaran yang dijual lebih murah dari sebungkus rokok. Lelaki dua tidak memperdulikan keberadaannya nampak pada dialog berikut: “Lumayanlah ada hasilnya sedikit diselip di meja judi, dan toh anak istri kita belum juga kelaparan.” “Manusia adalah binatang berakal yang memiliki rasa lapar sedemikian parah dalam nurani dan kesadaran.”
Dialog tersebut sebagai simbol yang menggambarkan tentang manusia itu sendiri, yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Sementara tokoh perempuan yang terdapat dalam naskah “Topogente” adalah simbol bumi itu sendiri. Bumi itu sendiri ibarat negara yang berlubang-lubang dan belang-belang. Berlubang-lubang dan belang-belang adalah sebuah janji yang selalu diingkari. Janji tersebut berhubungan dengan lapangan kerja dan pemberantasan kemiskinan, akan tetapi pada realitasnya belum juga terwujud. Hal tersebut di atas berkait erat dalam dialog yang terdapat di dalam naskah “Topogente,” yakni “kentut.” Ketika mendengar kata kentut, yang terbesit di dalam pikiran kita adalah bau busuk. Bau busuk inilah yang diibaratkan sebuah janji yang tidak pernah ditepati. Sementara anak-anak sebagai generasi penerus bangsa atau negara ini menjadi tumbal keangkuhan idealisme individual yang tidak pernah berakhir. Mengharap sebuah ketenangan dan kedamaian tetapi kapan? Di mana kedamaian dan ketenangan itu ditemukan...? Hanya harapan dan penantianlah yang menemani kesendirian anak-anak itu. Berharap kebahagiaan itu akan datang (matahari) dan memeluk kedamaian yang hening (rembulan).
Jika dikaji dalam konvensi drama dialog dalam naskah “Topogente” sangat cerdas bagi para pekerja batu bata, karena menghadirkan dialog yang puitis bukan dialog yang realistis atau keseharian. Dunia seni adalah dunia kreatif, hal apa saja bisa dibenturkan, memutar balikan fakta dari realitas sebenarnya. Ini adalah pilihan atau gaya penulisan bagi pengarang.
Naskah “Topogente” menghadirkan dialeg lokal Buol (salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah) dan Kota Palu. Sementera Judul yang diambil dari bahasa Kaili, ini menyebabkan Judul akhirnya menjadi sebuah tempelan semata, “kenapa tidak bahasa Kaili saja yang dipakai.?” Mengingat Topogente juga ada di setiap daerah bahkan di kota-kota besar di Indonesia. Inilah yang menyebabkan sutradara lebih memilih menghadirkan dialeg untuk memperkenalkan budaya lokal melalui dialeg daerah, bahwa di kota Palu memiliki ragam dialeg dan bukan hanya dialeg saja yang dihadirkan, melainkan juga alat musik lokal, seperti gimba (gendang), kecapi (alat musik petik pada daerah pesisir kota Palu dan kabupaten Donggala), Kakula (sejenis bonang pada gamelan jawa atau talempong di sumatera barat) dan lalove (suling) dan garapan musik vocal tradisi. Ini sudah cukup mewakili. Kembali mengingat pada “Event Internasional Negarakretagama” yang akan di hadiri beberapa kota dan negara besar lainnya.
Struktur
Plot
Naskah “Topogente” alur ceritanya melingkar tidak ada akhir atau penyelesaian sebuah cerita, hanya menghadirkan peristiwa demi peristiwa dan menampakkan awal adegan sama persis pada akhir adegan, perbedaanya terdapat pada dialog seperti ilustrasi di bawah ini:
Lelaki 1 :Saudara-saudara sekalian……………………………………………………………………………………………………………..kepada yang mau mendengar pengumuman (Hal. 1)
Pada ending atau akhir adegan dialognya dapat dilihat di bawah ini:
Lelaki 1 : Saudara-saudara sekalian saya akan menyampaikan kabar…………….
................................kepada calon pemimpin yang akan datang (Hal. 6)
Karakter
Tokoh adalah bahan paling aktif sebagai penggerak dalam cerita. Tokoh adalah sumber utama terjadinya suatu peristiwa yang muncul dan hadir hingga akhirnya berkembang menjadi satu bangunan peristiwa dialog, baik melalui tubuh maupun kata. Tokoh dalam naskah “Topogente” dimainkan dalam dua karakter, berawal dari tokoh dewasa kemudian para pemain berubah menjadi anak-anak. Adapun analisis tokoh dewasa sebagai berikut:
Lelaki 1 : Psikologis: Tegas.
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Tinggi kurus.
Lelaki 2 : Psikologis: Mudah marah
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata
Fisiologis : Kurus.
Lelaki 3 : Psikologis: Takut dan tertekan
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Kurus.
Perempuan : Tegas, sabar. dingin. Simbol bumi, tanah, dan negara yang menjadi korban keangkuhan manusia, meskipun demikian dia tidak pernah menyerah.
Tema
Menunjukan arah tujuan cerita. Tema sama halnya dengan pondasi bangunan rumah. Sebagus apapun rumah, tanpa campuran yang baik bangunan itu akan retak dan runtuh. Fondasi di sini adalah dasar atau pijakan bahwa tidak ada bangunan cerita drama yang baik tanpa sebuah tema. Tema yang terkandung dalam naskah Topogente “ Penderitaan tanpa sebuah akhir.”
Tekstur
Dialog
Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton melalui suara dan gerak tubuh. Dalam naskah “Topogente” Ashar Yotomaruangi menghadirkan dialog sastra yang memiliki nilai filosofis dan menggabungkannya dengan bahasa keseharian. Ilustrasinya dapat dilihat di bawah ini:
Perempuan : Dunia sebagai karya tuhan yang terus berduka oleh luka ketidakberdayaan kalian para Topogente dipukul sembilan, dipukul dua belas, dipukul tiga, dipukul enam. Itulah sebabnya bopeng-bopeng dataran tanah diakibatkan oleh kita Topogente adalah juga bopeng-bopeng dataran hidup yang terus menerus dinikmati (Hal. 5)
Sementara penghadiran bahasa keseharian dan dialog yang minim:
Lelaki 2 : Bilang saja apa isi pengumumannya.
Lelaki 1 : Jangan dulu..jangan mendesak kamu.
Lelaki 2 : Bukan mendesak kamu yang kelamaan bikin susah orang saja.
Lelaki 3 : Kamu juga terlalu kasar (Hal. 1)
Sutradara menghilangkan beberapa dialog yang dianggap verbal akan tetapi dialog tersebut tidak dibuang melainkan dipindahkan ke tubuh aktor, contoh sebagai berikut:
Lelaki 1 : (Ya..sebab pembakaran benda padat yang kita lakukan bertahun-tahun setiap harinya mengotori langit daya topang bumi goyah (Hal. 2)
Suasana
Suasana sama halnya dengan irama. Suasana dalam pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta irama. Dalam naskah “Topogente” pada awal adegan menghadirkan tempo cepat, sebab lelaki 1 masuk dengan tergesa ingin mengabarkan berita, kemudian berubah menjadi tegang, dengan hadirnya lelaki dua yang tidak sabar menunggu kabar berita. Ketegangan pun menjadi sebuah lelucon. Semangat kerja pencetak batu bata yang penuh dengan keharmonisan digambarkan melalui gerak rampak para lelaki hingga terciptalah bunyi yang beraturan, bunyi tersebut lambat laun berubah menjadi kacau dan tak beraturan alias caos. Kacau dan tak beraturan tersebut adalah simbol realitas kehidupan manusia dalam keberadaannya.
Rangkuman
Berawal pada tempo cepat kemudian berubah menjadi tegang lalu ketegangan pun menjadi sebuah lelucon yang membawa pada sebuah keharmonisan tiba-tiba muncul lagi kekacauan yang menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tanpa sebuah akhir.
Spektakel
spektakel efek khusus dalam naskah yang diciptakan. Spektakel suatu daya tarik yang hadir secara visual di atas panggung. Spektakel yang dihadirkan dalam naskah “Topogente” terdapat pada teknik muncul pemain, kostum, gerak rampak pemain yang menghadirkan irama, hand prop tidak hanya berfungsi sebagai alat cetak batu bata, tetapi bisa menjadi multifungsi, yakni lembar kertas pengumuman, bantal, borgol, bayi, dan juga pigura.
Setting / latar
Waktu : Terjadi dalam satu hari dimulai dari pagi sampai sore hari.
Tempat : Tanah lapang
Peristiwa : Pertemuan yang menjadi perdebatan antara para pekerja batu bata.
Sinopsis
Berawal pada sebuah kegelisahan eksistensi. Kerja tiada lelah, nasib para pencetak batu bata yang tidak kunjung berubah. Bagaimana kita menangani hal yang berkait erat dengan keselamatan pendidikan, kesehatan dan lingkungan? Melihat kesejahtraan dan pengembangan usaha para Topogente? Dampak hubungan manusia, alam dan lingkungan yang semakin hari semakin nampak. Tanah-tanah menjadi bopeng, asap pembakaran setiap hari mengotori langit. Akibatnya daya topang bumi menjadi goyah. Perdebatan panjang yang tak kunjung usai....Kenapa? Bagaimana? Siapa? Di mana? Ke mana? Ini gelap, Lentera tak akan pernah padam..! kepada calon pemimpin yang akan datang, akankah kita??? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul “Le myth de sysiphe” dan novelnya “L’ estranger” (dasar pengulangan peristiwa tanpa makna) sekitar tahun 1920-an, kematian manusia menjadi persoalan yang harus dipertanyakan. Perang Dunia I dan kesepakatan perdamaian antara mereka yang berperang dan akhir Revolusi Rusia menunjukkan tidak ada kepercayaan pada setiap langkah yang diputuskan manusia. Tahun 1950-an bahasa telah kehilangan keabsahannya dan saat itu penonton sangat menyukai teater absurd sebagai seni popular yang memiliki obsesi pada pemikiran dan pengulangan yang konyol. Ionesco merasakan bahwa sebelum kehidupan menyembuhkan misteri dan makna hidup, kehampaan harus benar-benar dijelajahi. Dalam esainya yang berjudul “Notes et Countre notes” Ionesco menulis
“Untuk merasakan absurditas yang sebenarnya, absurditas kekonyolan bahasa telah berkembang mendahuluinya. Untuk menggapainya pertama kali kita harus membenamkan diri kita di dalamnya. Apa yang sebenarnya lucu adalah apa yang ada dalam kondisi aslinya; tak ada yang tampak mengejutkan bagiku kecuali kekonyolannya; surialislah yang muncul di antara genggaman tangan kita, diperbincangkan kita keseharian.” (Yudiaryani, 2002: 275-276).
Sekilas Tentang Absurd
Manusia adalah mahluk absurd dan cara menjalankan hidup pun dengan cara yang absurd. Setiap kata mencerminkan awal dan akhir permasalahan. Sikap tubuh aktor menunjukkan tehnik tersebut, yaitu sikap aktor yang sering membungkuk, sikap jongkok, dan gerak memutar, yang semuanya itu menunjukan tentang kehidupan awal dan akhir manusia. Absurd berarti ketiadaan, yang menunjukan keadaan tidak harmonis, pengulangan peristiwa tanpa makna. Menunjukkan manusia dalam kondisi “alienasi.” Maksud dari alienasi, yakni suatu formula baru dikemukakan Brecht berkaitan dengan masalah antar aktor dan penonton adalah penghancuran oleh beberapa metode teknis yang biasa dinamakan ilusi teaterikal sehingga menghalangi keterlibatan emosi penonton dengan pertunjukan. Dengan kata lain alienasi adalah pengasingan diri. Dalam sebuah pertunjukan teater alienasi ditampakkan melalui gejala dialog antar tokoh melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas. Penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non verbal.
Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Di sana ada penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada prilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Walaupun tetap ditulis dengan kata-kata lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari teks dramatiknya, inilah yang menjadikan sifat lakon absurd paradoksal. (Bagdi Soemanto, 2002: 309-310).
Analisis Naskah
Analisis adalah sebuah kajian atau pembedahan karya secara detail baik melalui observasi dan eksplorasi maupun buku-buku bacaan yang berkait erat dengan ide/gagasan awal. Penjelajahan ilmu pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam upaya pencarian apa yang disebut sebagai cahaya kebenaran (truth). Dalam pengembaraan tersebut, Ashar Yotomaruangi mencoba melihat segala sesuatu secara objektif dan tanpa pretensi, mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam karya tulisnya yang berisi kebenaran sejati, yang mengandung ide-ide filosofis melalui bahasa kata maupun tubuh. Penjelajahan ilmu pengetahuan, tidak lain dari penjelajahan kebenaran. Selain itu, ada kemungkin relasi lain antara tanda, citra, dan realitas, yakni pertama sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Kedua, citra menopangi dan memutar balikan realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopangi ketiadaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apapun, disebabkan citra merupakan simulaktrum dirinya yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan dengan realitas apapun [ ] di luar dirinya, oleh karena itu merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri-pure simulactrum.
Di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara dalam naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi, merekonstruksikan kembali naskah tersebut sesuai konsep garapannya. Akan tetapi tidak menghilangkan inti dari cerita naskah. Naskah itu sendiri adalah sebuah ide atau gagasan seorang pengarang yang mana ide atau gagasannya ditemukan dalam realitasnya dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan, yang di dalamnya terdapat struktur dan tekstur. Berikut di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara memaparkan secara rinci makna yang tersembunyi di dalam naskah.
“Topogente” diambil dari bahasa Kaili Ledo yakni Topo dan gente Topo adalah para pekerja sementara Gente yaitu Tanah liat yang dibentuk kotak (batu bata) Secara etimologis atau asal kata “Topogente” adalah para pembuat atau pekerja batu bata. Naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi ini mengkritik masalah Kerusakan Alam; mengenai tanah yang bopeng asap yang setiap harinya mengotori langit yang menyebabkan daya topang bumi menjadi goyah. Sementara dari sisi ke-pemimpinan; menyinggung pemerintahan yang kurang memperhatikan nasip para Topogente, sebab mereka tidak pernah diagendakan dalam program ES KA PE DE seperti Dinas Sosial dan Perindustrian. Para lelaki adalah para buruh atau para pekerja yang merelakan dirinya bekerja pagi hingga sore hari sebagai pencetak batu-bata, meskipun upah yang didapatnya tidak sebanding dengan pekerjaannya. Banyaknya pekerja batu bata di kota Palu 350. Pekerja batu bata di kota Palu sudah ada semenjak tahun 60-an. Naskah “Topogente” ini juga menyinggung kerapuan ekonomi, fisik dan mental para pembuat batu bata. Meskipun demikian sebagian kecil Topogente (para pencetak batu bata) tetap setia dengan pekerjaannya. inilah yang disebut dengan absurditas. Nietzsche mengemukakan hal tersebut dengan sebutan Amourfati, yakni mencintai apa yang dikerjakan hari ini dan hari esok meskipun pahit adanya. Manusia dibekali akal dan pikiran, yang melahirkan rasa ingin tahu, rasa ingin tahu inilah yang membawa manusia menggapai harapan dan keinginan di dalam eksistensinya.
Sementara lelaki satu sebagai pewarta, yakni orang yang menyampaikan kabar berita layaknya seorang pemimpin yang sedang berpidato di atas mimbar. Hand prop alat cetak batu bata yang digunakan lelaki satu berubah fungsi seolah menjadi lembaran kertas pengumuman. Sementara dalam naskah “Topogente” menghadirkan dialog-dialog yang penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan. Ilustrasinya dapat dilihan di bawah ini: “Berapa lama proses mencetak batu bata?” “Berapa harga satu truk pasir..?” “Berapa satu red tanah yang terpaksa dibeli dengan pihak lain?” “Berapa biaya berobat ketika sakit karena memaksa diri kerja pagi sore?” Sebandingkah harga batu bata dengan harga batu bara?” “Harga semen dan harga harga lain yang kita beli karena menjadi kebutuhan kita.” Sementara hasil pembakaran yang dijual lebih murah dari sebungkus rokok. Lelaki dua tidak memperdulikan keberadaannya nampak pada dialog berikut: “Lumayanlah ada hasilnya sedikit diselip di meja judi, dan toh anak istri kita belum juga kelaparan.” “Manusia adalah binatang berakal yang memiliki rasa lapar sedemikian parah dalam nurani dan kesadaran.”
Dialog tersebut sebagai simbol yang menggambarkan tentang manusia itu sendiri, yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Sementara tokoh perempuan yang terdapat dalam naskah “Topogente” adalah simbol bumi itu sendiri. Bumi itu sendiri ibarat negara yang berlubang-lubang dan belang-belang. Berlubang-lubang dan belang-belang adalah sebuah janji yang selalu diingkari. Janji tersebut berhubungan dengan lapangan kerja dan pemberantasan kemiskinan, akan tetapi pada realitasnya belum juga terwujud. Hal tersebut di atas berkait erat dalam dialog yang terdapat di dalam naskah “Topogente,” yakni “kentut.” Ketika mendengar kata kentut, yang terbesit di dalam pikiran kita adalah bau busuk. Bau busuk inilah yang diibaratkan sebuah janji yang tidak pernah ditepati. Sementara anak-anak sebagai generasi penerus bangsa atau negara ini menjadi tumbal keangkuhan idealisme individual yang tidak pernah berakhir. Mengharap sebuah ketenangan dan kedamaian tetapi kapan? Di mana kedamaian dan ketenangan itu ditemukan...? Hanya harapan dan penantianlah yang menemani kesendirian anak-anak itu. Berharap kebahagiaan itu akan datang (matahari) dan memeluk kedamaian yang hening (rembulan).
Jika dikaji dalam konvensi drama dialog dalam naskah “Topogente” sangat cerdas bagi para pekerja batu bata, karena menghadirkan dialog yang puitis bukan dialog yang realistis atau keseharian. Dunia seni adalah dunia kreatif, hal apa saja bisa dibenturkan, memutar balikan fakta dari realitas sebenarnya. Ini adalah pilihan atau gaya penulisan bagi pengarang.
Naskah “Topogente” menghadirkan dialeg lokal Buol (salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah) dan Kota Palu. Sementera Judul yang diambil dari bahasa Kaili, ini menyebabkan Judul akhirnya menjadi sebuah tempelan semata, “kenapa tidak bahasa Kaili saja yang dipakai.?” Mengingat Topogente juga ada di setiap daerah bahkan di kota-kota besar di Indonesia. Inilah yang menyebabkan sutradara lebih memilih menghadirkan dialeg untuk memperkenalkan budaya lokal melalui dialeg daerah, bahwa di kota Palu memiliki ragam dialeg dan bukan hanya dialeg saja yang dihadirkan, melainkan juga alat musik lokal, seperti gimba (gendang), kecapi (alat musik petik pada daerah pesisir kota Palu dan kabupaten Donggala), Kakula (sejenis bonang pada gamelan jawa atau talempong di sumatera barat) dan lalove (suling) dan garapan musik vocal tradisi. Ini sudah cukup mewakili. Kembali mengingat pada “Event Internasional Negarakretagama” yang akan di hadiri beberapa kota dan negara besar lainnya.
Struktur
Plot
Naskah “Topogente” alur ceritanya melingkar tidak ada akhir atau penyelesaian sebuah cerita, hanya menghadirkan peristiwa demi peristiwa dan menampakkan awal adegan sama persis pada akhir adegan, perbedaanya terdapat pada dialog seperti ilustrasi di bawah ini:
Lelaki 1 :Saudara-saudara sekalian……………………………………………………………………………………………………………..kepada yang mau mendengar pengumuman (Hal. 1)
Pada ending atau akhir adegan dialognya dapat dilihat di bawah ini:
Lelaki 1 : Saudara-saudara sekalian saya akan menyampaikan kabar…………….
................................kepada calon pemimpin yang akan datang (Hal. 6)
Karakter
Tokoh adalah bahan paling aktif sebagai penggerak dalam cerita. Tokoh adalah sumber utama terjadinya suatu peristiwa yang muncul dan hadir hingga akhirnya berkembang menjadi satu bangunan peristiwa dialog, baik melalui tubuh maupun kata. Tokoh dalam naskah “Topogente” dimainkan dalam dua karakter, berawal dari tokoh dewasa kemudian para pemain berubah menjadi anak-anak. Adapun analisis tokoh dewasa sebagai berikut:
Lelaki 1 : Psikologis: Tegas.
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Tinggi kurus.
Lelaki 2 : Psikologis: Mudah marah
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata
Fisiologis : Kurus.
Lelaki 3 : Psikologis: Takut dan tertekan
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Kurus.
Perempuan : Tegas, sabar. dingin. Simbol bumi, tanah, dan negara yang menjadi korban keangkuhan manusia, meskipun demikian dia tidak pernah menyerah.
Tema
Menunjukan arah tujuan cerita. Tema sama halnya dengan pondasi bangunan rumah. Sebagus apapun rumah, tanpa campuran yang baik bangunan itu akan retak dan runtuh. Fondasi di sini adalah dasar atau pijakan bahwa tidak ada bangunan cerita drama yang baik tanpa sebuah tema. Tema yang terkandung dalam naskah Topogente “ Penderitaan tanpa sebuah akhir.”
Tekstur
Dialog
Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton melalui suara dan gerak tubuh. Dalam naskah “Topogente” Ashar Yotomaruangi menghadirkan dialog sastra yang memiliki nilai filosofis dan menggabungkannya dengan bahasa keseharian. Ilustrasinya dapat dilihat di bawah ini:
Perempuan : Dunia sebagai karya tuhan yang terus berduka oleh luka ketidakberdayaan kalian para Topogente dipukul sembilan, dipukul dua belas, dipukul tiga, dipukul enam. Itulah sebabnya bopeng-bopeng dataran tanah diakibatkan oleh kita Topogente adalah juga bopeng-bopeng dataran hidup yang terus menerus dinikmati (Hal. 5)
Sementara penghadiran bahasa keseharian dan dialog yang minim:
Lelaki 2 : Bilang saja apa isi pengumumannya.
Lelaki 1 : Jangan dulu..jangan mendesak kamu.
Lelaki 2 : Bukan mendesak kamu yang kelamaan bikin susah orang saja.
Lelaki 3 : Kamu juga terlalu kasar (Hal. 1)
Sutradara menghilangkan beberapa dialog yang dianggap verbal akan tetapi dialog tersebut tidak dibuang melainkan dipindahkan ke tubuh aktor, contoh sebagai berikut:
Lelaki 1 : (Ya..sebab pembakaran benda padat yang kita lakukan bertahun-tahun setiap harinya mengotori langit daya topang bumi goyah (Hal. 2)
Suasana
Suasana sama halnya dengan irama. Suasana dalam pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta irama. Dalam naskah “Topogente” pada awal adegan menghadirkan tempo cepat, sebab lelaki 1 masuk dengan tergesa ingin mengabarkan berita, kemudian berubah menjadi tegang, dengan hadirnya lelaki dua yang tidak sabar menunggu kabar berita. Ketegangan pun menjadi sebuah lelucon. Semangat kerja pencetak batu bata yang penuh dengan keharmonisan digambarkan melalui gerak rampak para lelaki hingga terciptalah bunyi yang beraturan, bunyi tersebut lambat laun berubah menjadi kacau dan tak beraturan alias caos. Kacau dan tak beraturan tersebut adalah simbol realitas kehidupan manusia dalam keberadaannya.
Rangkuman
Berawal pada tempo cepat kemudian berubah menjadi tegang lalu ketegangan pun menjadi sebuah lelucon yang membawa pada sebuah keharmonisan tiba-tiba muncul lagi kekacauan yang menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tanpa sebuah akhir.
Spektakel
spektakel efek khusus dalam naskah yang diciptakan. Spektakel suatu daya tarik yang hadir secara visual di atas panggung. Spektakel yang dihadirkan dalam naskah “Topogente” terdapat pada teknik muncul pemain, kostum, gerak rampak pemain yang menghadirkan irama, hand prop tidak hanya berfungsi sebagai alat cetak batu bata, tetapi bisa menjadi multifungsi, yakni lembar kertas pengumuman, bantal, borgol, bayi, dan juga pigura.
Setting / latar
Waktu : Terjadi dalam satu hari dimulai dari pagi sampai sore hari.
Tempat : Tanah lapang
Peristiwa : Pertemuan yang menjadi perdebatan antara para pekerja batu bata.
Sinopsis
Berawal pada sebuah kegelisahan eksistensi. Kerja tiada lelah, nasib para pencetak batu bata yang tidak kunjung berubah. Bagaimana kita menangani hal yang berkait erat dengan keselamatan pendidikan, kesehatan dan lingkungan? Melihat kesejahtraan dan pengembangan usaha para Topogente? Dampak hubungan manusia, alam dan lingkungan yang semakin hari semakin nampak. Tanah-tanah menjadi bopeng, asap pembakaran setiap hari mengotori langit. Akibatnya daya topang bumi menjadi goyah. Perdebatan panjang yang tak kunjung usai....Kenapa? Bagaimana? Siapa? Di mana? Ke mana? Ini gelap, Lentera tak akan pernah padam..! kepada calon pemimpin yang akan datang, akankah kita??? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Topogente
Latar belakang munculnya absurditas
Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul “Le myth de sysiphe” dan novelnya “L’ estranger” (dasar pengulangan peristiwa tanpa makna) sekitar tahun 1920-an, kematian manusia menjadi persoalan yang harus dipertanyakan. Perang Dunia I dan kesepakatan perdamaian antara mereka yang berperang dan akhir Revolusi Rusia menunjukkan tidak ada kepercayaan pada setiap langkah yang diputuskan manusia. Tahun 1950-an bahasa telah kehilangan keabsahannya dan saat itu penonton sangat menyukai teater absurd sebagai seni popular yang memiliki obsesi pada pemikiran dan pengulangan yang konyol. Ionesco merasakan bahwa sebelum kehidupan menyembuhkan misteri dan makna hidup, kehampaan harus benar-benar dijelajahi. Dalam esainya yang berjudul “Notes et Countre notes” Ionesco menulis
“Untuk merasakan absurditas yang sebenarnya, absurditas kekonyolan bahasa telah berkembang mendahuluinya. Untuk menggapainya pertama kali kita harus membenamkan diri kita di dalamnya. Apa yang sebenarnya lucu adalah apa yang ada dalam kondisi aslinya; tak ada yang tampak mengejutkan bagiku kecuali kekonyolannya; surialislah yang muncul di antara genggaman tangan kita, diperbincangkan kita keseharian.” (Yudiaryani, 2002: 275-276).
Sekilas Tentang Absurd
Manusia adalah mahluk absurd dan cara menjalankan hidup pun dengan cara yang absurd. Setiap kata mencerminkan awal dan akhir permasalahan. Sikap tubuh aktor menunjukkan tehnik tersebut, yaitu sikap aktor yang sering membungkuk, sikap jongkok, dan gerak memutar, yang semuanya itu menunjukan tentang kehidupan awal dan akhir manusia. Absurd berarti ketiadaan, yang menunjukan keadaan tidak harmonis, pengulangan peristiwa tanpa makna. Menunjukkan manusia dalam kondisi “alienasi.” Maksud dari alienasi, yakni suatu formula baru dikemukakan Brecht berkaitan dengan masalah antar aktor dan penonton adalah penghancuran oleh beberapa metode teknis yang biasa dinamakan ilusi teaterikal sehingga menghalangi keterlibatan emosi penonton dengan pertunjukan. Dengan kata lain alienasi adalah pengasingan diri. Dalam sebuah pertunjukan teater alienasi ditampakkan melalui gejala dialog antar tokoh melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas. Penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non verbal.
Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Di sana ada penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada prilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Walaupun tetap ditulis dengan kata-kata lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari teks dramatiknya, inilah yang menjadikan sifat lakon absurd paradoksal. (Bagdi Soemanto, 2002: 309-310).
Analisis Naskah
Analisis adalah sebuah kajian atau pembedahan karya secara detail baik melalui observasi dan eksplorasi maupun buku-buku bacaan yang berkait erat dengan ide/gagasan awal. Penjelajahan ilmu pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam upaya pencarian apa yang disebut sebagai cahaya kebenaran (truth). Dalam pengembaraan tersebut, Ashar Yotomaruangi mencoba melihat segala sesuatu secara objektif dan tanpa pretensi, mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam karya tulisnya yang berisi kebenaran sejati, yang mengandung ide-ide filosofis melalui bahasa kata maupun tubuh. Penjelajahan ilmu pengetahuan, tidak lain dari penjelajahan kebenaran. Selain itu, ada kemungkin relasi lain antara tanda, citra, dan realitas, yakni pertama sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Kedua, citra menopangi dan memutar balikan realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopangi ketiadaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apapun, disebabkan citra merupakan simulaktrum dirinya yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan dengan realitas apapun [ ] di luar dirinya, oleh karena itu merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri-pure simulactrum.
Di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara dalam naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi, merekonstruksikan kembali naskah tersebut sesuai konsep garapannya. Akan tetapi tidak menghilangkan inti dari cerita naskah. Naskah itu sendiri adalah sebuah ide atau gagasan seorang pengarang yang mana ide atau gagasannya ditemukan dalam realitasnya dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan, yang di dalamnya terdapat struktur dan tekstur. Berikut di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara memaparkan secara rinci makna yang tersembunyi di dalam naskah.
“Topogente” diambil dari bahasa Kaili Ledo yakni Topo dan gente Topo adalah para pekerja sementara Gente yaitu Tanah liat yang dibentuk kotak (batu bata) Secara etimologis atau asal kata “Topogente” adalah para pembuat atau pekerja batu bata. Naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi ini mengkritik masalah Kerusakan Alam; mengenai tanah yang bopeng asap yang setiap harinya mengotori langit yang menyebabkan daya topang bumi menjadi goyah. Sementara dari sisi ke-pemimpinan; menyinggung pemerintahan yang kurang memperhatikan nasip para Topogente, sebab mereka tidak pernah diagendakan dalam program ES KA PE DE seperti Dinas Sosial dan Perindustrian. Para lelaki adalah para buruh atau para pekerja yang merelakan dirinya bekerja pagi hingga sore hari sebagai pencetak batu-bata, meskipun upah yang didapatnya tidak sebanding dengan pekerjaannya. Banyaknya pekerja batu bata di kota Palu 350. Pekerja batu bata di kota Palu sudah ada semenjak tahun 60-an. Naskah “Topogente” ini juga menyinggung kerapuan ekonomi, fisik dan mental para pembuat batu bata. Meskipun demikian sebagian kecil Topogente (para pencetak batu bata) tetap setia dengan pekerjaannya. inilah yang disebut dengan absurditas. Nietzsche mengemukakan hal tersebut dengan sebutan Amourfati, yakni mencintai apa yang dikerjakan hari ini dan hari esok meskipun pahit adanya. Manusia dibekali akal dan pikiran, yang melahirkan rasa ingin tahu, rasa ingin tahu inilah yang membawa manusia menggapai harapan dan keinginan di dalam eksistensinya.
Sementara lelaki satu sebagai pewarta, yakni orang yang menyampaikan kabar berita layaknya seorang pemimpin yang sedang berpidato di atas mimbar. Hand prop alat cetak batu bata yang digunakan lelaki satu berubah fungsi seolah menjadi lembaran kertas pengumuman. Sementara dalam naskah “Topogente” menghadirkan dialog-dialog yang penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan. Ilustrasinya dapat dilihan di bawah ini: “Berapa lama proses mencetak batu bata?” “Berapa harga satu truk pasir..?” “Berapa satu red tanah yang terpaksa dibeli dengan pihak lain?” “Berapa biaya berobat ketika sakit karena memaksa diri kerja pagi sore?” Sebandingkah harga batu bata dengan harga batu bara?” “Harga semen dan harga harga lain yang kita beli karena menjadi kebutuhan kita.” Sementara hasil pembakaran yang dijual lebih murah dari sebungkus rokok. Lelaki dua tidak memperdulikan keberadaannya nampak pada dialog berikut: “Lumayanlah ada hasilnya sedikit diselip di meja judi, dan toh anak istri kita belum juga kelaparan.” “Manusia adalah binatang berakal yang memiliki rasa lapar sedemikian parah dalam nurani dan kesadaran.”
Dialog tersebut sebagai simbol yang menggambarkan tentang manusia itu sendiri, yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Sementara tokoh perempuan yang terdapat dalam naskah “Topogente” adalah simbol bumi itu sendiri. Bumi itu sendiri ibarat negara yang berlubang-lubang dan belang-belang. Berlubang-lubang dan belang-belang adalah sebuah janji yang selalu diingkari. Janji tersebut berhubungan dengan lapangan kerja dan pemberantasan kemiskinan, akan tetapi pada realitasnya belum juga terwujud. Hal tersebut di atas berkait erat dalam dialog yang terdapat di dalam naskah “Topogente,” yakni “kentut.” Ketika mendengar kata kentut, yang terbesit di dalam pikiran kita adalah bau busuk. Bau busuk inilah yang diibaratkan sebuah janji yang tidak pernah ditepati. Sementara anak-anak sebagai generasi penerus bangsa atau negara ini menjadi tumbal keangkuhan idealisme individual yang tidak pernah berakhir. Mengharap sebuah ketenangan dan kedamaian tetapi kapan? Di mana kedamaian dan ketenangan itu ditemukan...? Hanya harapan dan penantianlah yang menemani kesendirian anak-anak itu. Berharap kebahagiaan itu akan datang (matahari) dan memeluk kedamaian yang hening (rembulan).
Jika dikaji dalam konvensi drama dialog dalam naskah “Topogente” sangat cerdas bagi para pekerja batu bata, karena menghadirkan dialog yang puitis bukan dialog yang realistis atau keseharian. Dunia seni adalah dunia kreatif, hal apa saja bisa dibenturkan, memutar balikan fakta dari realitas sebenarnya. Ini adalah pilihan atau gaya penulisan bagi pengarang.
Naskah “Topogente” menghadirkan dialeg lokal Buol (salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah) dan Kota Palu. Sementera Judul yang diambil dari bahasa Kaili, ini menyebabkan Judul akhirnya menjadi sebuah tempelan semata, “kenapa tidak bahasa Kaili saja yang dipakai.?” Mengingat Topogente juga ada di setiap daerah bahkan di kota-kota besar di Indonesia. Inilah yang menyebabkan sutradara lebih memilih menghadirkan dialeg untuk memperkenalkan budaya lokal melalui dialeg daerah, bahwa di kota Palu memiliki ragam dialeg dan bukan hanya dialeg saja yang dihadirkan, melainkan juga alat musik lokal, seperti gimba (gendang), kecapi (alat musik petik pada daerah pesisir kota Palu dan kabupaten Donggala), Kakula (sejenis bonang pada gamelan jawa atau talempong di sumatera barat) dan lalove (suling) dan garapan musik vocal tradisi. Ini sudah cukup mewakili. Kembali mengingat pada “Event Internasional Negarakretagama” yang akan di hadiri beberapa kota dan negara besar lainnya.
Struktur
Plot
Naskah “Topogente” alur ceritanya melingkar tidak ada akhir atau penyelesaian sebuah cerita, hanya menghadirkan peristiwa demi peristiwa dan menampakkan awal adegan sama persis pada akhir adegan, perbedaanya terdapat pada dialog seperti ilustrasi di bawah ini:
Lelaki 1 :Saudara-saudara sekalian……………………………………………………………………………………………………………..kepada yang mau mendengar pengumuman (Hal. 1)
Pada ending atau akhir adegan dialognya dapat dilihat di bawah ini:
Lelaki 1 : Saudara-saudara sekalian saya akan menyampaikan kabar…………….
................................kepada calon pemimpin yang akan datang (Hal. 6)
Karakter
Tokoh adalah bahan paling aktif sebagai penggerak dalam cerita. Tokoh adalah sumber utama terjadinya suatu peristiwa yang muncul dan hadir hingga akhirnya berkembang menjadi satu bangunan peristiwa dialog, baik melalui tubuh maupun kata. Tokoh dalam naskah “Topogente” dimainkan dalam dua karakter, berawal dari tokoh dewasa kemudian para pemain berubah menjadi anak-anak. Adapun analisis tokoh dewasa sebagai berikut:
Lelaki 1 : Psikologis: Tegas.
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Tinggi kurus.
Lelaki 2 : Psikologis: Mudah marah
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata
Fisiologis : Kurus.
Lelaki 3 : Psikologis: Takut dan tertekan
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Kurus.
Perempuan : Tegas, sabar. dingin. Simbol bumi, tanah, dan negara yang menjadi korban keangkuhan manusia, meskipun demikian dia tidak pernah menyerah.
Tema
Menunjukan arah tujuan cerita. Tema sama halnya dengan pondasi bangunan rumah. Sebagus apapun rumah, tanpa campuran yang baik bangunan itu akan retak dan runtuh. Fondasi di sini adalah dasar atau pijakan bahwa tidak ada bangunan cerita drama yang baik tanpa sebuah tema. Tema yang terkandung dalam naskah Topogente “ Penderitaan tanpa sebuah akhir.”
Tekstur
Dialog
Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton melalui suara dan gerak tubuh. Dalam naskah “Topogente” Ashar Yotomaruangi menghadirkan dialog sastra yang memiliki nilai filosofis dan menggabungkannya dengan bahasa keseharian. Ilustrasinya dapat dilihat di bawah ini:
Perempuan : Dunia sebagai karya tuhan yang terus berduka oleh luka ketidakberdayaan kalian para Topogente dipukul sembilan, dipukul dua belas, dipukul tiga, dipukul enam. Itulah sebabnya bopeng-bopeng dataran tanah diakibatkan oleh kita Topogente adalah juga bopeng-bopeng dataran hidup yang terus menerus dinikmati (Hal. 5)
Sementara penghadiran bahasa keseharian dan dialog yang minim:
Lelaki 2 : Bilang saja apa isi pengumumannya.
Lelaki 1 : Jangan dulu..jangan mendesak kamu.
Lelaki 2 : Bukan mendesak kamu yang kelamaan bikin susah orang saja.
Lelaki 3 : Kamu juga terlalu kasar (Hal. 1)
Sutradara menghilangkan beberapa dialog yang dianggap verbal akan tetapi dialog tersebut tidak dibuang melainkan dipindahkan ke tubuh aktor, contoh sebagai berikut:
Lelaki 1 : (Ya..sebab pembakaran benda padat yang kita lakukan bertahun-tahun setiap harinya mengotori langit daya topang bumi goyah (Hal. 2)
Suasana
Suasana sama halnya dengan irama. Suasana dalam pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta irama. Dalam naskah “Topogente” pada awal adegan menghadirkan tempo cepat, sebab lelaki 1 masuk dengan tergesa ingin mengabarkan berita, kemudian berubah menjadi tegang, dengan hadirnya lelaki dua yang tidak sabar menunggu kabar berita. Ketegangan pun menjadi sebuah lelucon. Semangat kerja pencetak batu bata yang penuh dengan keharmonisan digambarkan melalui gerak rampak para lelaki hingga terciptalah bunyi yang beraturan, bunyi tersebut lambat laun berubah menjadi kacau dan tak beraturan alias caos. Kacau dan tak beraturan tersebut adalah simbol realitas kehidupan manusia dalam keberadaannya.
Rangkuman
Berawal pada tempo cepat kemudian berubah menjadi tegang lalu ketegangan pun menjadi sebuah lelucon yang membawa pada sebuah keharmonisan tiba-tiba muncul lagi kekacauan yang menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tanpa sebuah akhir.
Spektakel
spektakel efek khusus dalam naskah yang diciptakan. Spektakel suatu daya tarik yang hadir secara visual di atas panggung. Spektakel yang dihadirkan dalam naskah “Topogente” terdapat pada teknik muncul pemain, kostum, gerak rampak pemain yang menghadirkan irama, hand prop tidak hanya berfungsi sebagai alat cetak batu bata, tetapi bisa menjadi multifungsi, yakni lembar kertas pengumuman, bantal, borgol, bayi, dan juga pigura.
Setting / latar
Waktu : Terjadi dalam satu hari dimulai dari pagi sampai sore hari.
Tempat : Tanah lapang
Peristiwa : Pertemuan yang menjadi perdebatan antara para pekerja batu bata.
Sinopsis
Berawal pada sebuah kegelisahan eksistensi. Kerja tiada lelah, nasib para pencetak batu bata yang tidak kunjung berubah. Bagaimana kita menangani hal yang berkait erat dengan keselamatan pendidikan, kesehatan dan lingkungan? Melihat kesejahtraan dan pengembangan usaha para Topogente? Dampak hubungan manusia, alam dan lingkungan yang semakin hari semakin nampak. Tanah-tanah menjadi bopeng, asap pembakaran setiap hari mengotori langit. Akibatnya daya topang bumi menjadi goyah. Perdebatan panjang yang tak kunjung usai....Kenapa? Bagaimana? Siapa? Di mana? Ke mana? Ini gelap, Lentera tak akan pernah padam..! kepada calon pemimpin yang akan datang, akankah kita??? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Konsep absurd dalam sastra dan teater tampak bermula dari esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul “Le myth de sysiphe” dan novelnya “L’ estranger” (dasar pengulangan peristiwa tanpa makna) sekitar tahun 1920-an, kematian manusia menjadi persoalan yang harus dipertanyakan. Perang Dunia I dan kesepakatan perdamaian antara mereka yang berperang dan akhir Revolusi Rusia menunjukkan tidak ada kepercayaan pada setiap langkah yang diputuskan manusia. Tahun 1950-an bahasa telah kehilangan keabsahannya dan saat itu penonton sangat menyukai teater absurd sebagai seni popular yang memiliki obsesi pada pemikiran dan pengulangan yang konyol. Ionesco merasakan bahwa sebelum kehidupan menyembuhkan misteri dan makna hidup, kehampaan harus benar-benar dijelajahi. Dalam esainya yang berjudul “Notes et Countre notes” Ionesco menulis
“Untuk merasakan absurditas yang sebenarnya, absurditas kekonyolan bahasa telah berkembang mendahuluinya. Untuk menggapainya pertama kali kita harus membenamkan diri kita di dalamnya. Apa yang sebenarnya lucu adalah apa yang ada dalam kondisi aslinya; tak ada yang tampak mengejutkan bagiku kecuali kekonyolannya; surialislah yang muncul di antara genggaman tangan kita, diperbincangkan kita keseharian.” (Yudiaryani, 2002: 275-276).
Sekilas Tentang Absurd
Manusia adalah mahluk absurd dan cara menjalankan hidup pun dengan cara yang absurd. Setiap kata mencerminkan awal dan akhir permasalahan. Sikap tubuh aktor menunjukkan tehnik tersebut, yaitu sikap aktor yang sering membungkuk, sikap jongkok, dan gerak memutar, yang semuanya itu menunjukan tentang kehidupan awal dan akhir manusia. Absurd berarti ketiadaan, yang menunjukan keadaan tidak harmonis, pengulangan peristiwa tanpa makna. Menunjukkan manusia dalam kondisi “alienasi.” Maksud dari alienasi, yakni suatu formula baru dikemukakan Brecht berkaitan dengan masalah antar aktor dan penonton adalah penghancuran oleh beberapa metode teknis yang biasa dinamakan ilusi teaterikal sehingga menghalangi keterlibatan emosi penonton dengan pertunjukan. Dengan kata lain alienasi adalah pengasingan diri. Dalam sebuah pertunjukan teater alienasi ditampakkan melalui gejala dialog antar tokoh melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas. Penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non verbal.
Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Di sana ada penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada prilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Walaupun tetap ditulis dengan kata-kata lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari teks dramatiknya, inilah yang menjadikan sifat lakon absurd paradoksal. (Bagdi Soemanto, 2002: 309-310).
Analisis Naskah
Analisis adalah sebuah kajian atau pembedahan karya secara detail baik melalui observasi dan eksplorasi maupun buku-buku bacaan yang berkait erat dengan ide/gagasan awal. Penjelajahan ilmu pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam upaya pencarian apa yang disebut sebagai cahaya kebenaran (truth). Dalam pengembaraan tersebut, Ashar Yotomaruangi mencoba melihat segala sesuatu secara objektif dan tanpa pretensi, mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam karya tulisnya yang berisi kebenaran sejati, yang mengandung ide-ide filosofis melalui bahasa kata maupun tubuh. Penjelajahan ilmu pengetahuan, tidak lain dari penjelajahan kebenaran. Selain itu, ada kemungkin relasi lain antara tanda, citra, dan realitas, yakni pertama sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Kedua, citra menopangi dan memutar balikan realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan. Ketiga, citra menopangi ketiadaan realitas, seperti yang terdapat pada ilmu sihir. Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apapun, disebabkan citra merupakan simulaktrum dirinya yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan dengan realitas apapun [ ] di luar dirinya, oleh karena itu merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri-pure simulactrum.
Di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara dalam naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi, merekonstruksikan kembali naskah tersebut sesuai konsep garapannya. Akan tetapi tidak menghilangkan inti dari cerita naskah. Naskah itu sendiri adalah sebuah ide atau gagasan seorang pengarang yang mana ide atau gagasannya ditemukan dalam realitasnya dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan, yang di dalamnya terdapat struktur dan tekstur. Berikut di bawah ini penulis sekaligus pemain dan sutradara memaparkan secara rinci makna yang tersembunyi di dalam naskah.
“Topogente” diambil dari bahasa Kaili Ledo yakni Topo dan gente Topo adalah para pekerja sementara Gente yaitu Tanah liat yang dibentuk kotak (batu bata) Secara etimologis atau asal kata “Topogente” adalah para pembuat atau pekerja batu bata. Naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi ini mengkritik masalah Kerusakan Alam; mengenai tanah yang bopeng asap yang setiap harinya mengotori langit yang menyebabkan daya topang bumi menjadi goyah. Sementara dari sisi ke-pemimpinan; menyinggung pemerintahan yang kurang memperhatikan nasip para Topogente, sebab mereka tidak pernah diagendakan dalam program ES KA PE DE seperti Dinas Sosial dan Perindustrian. Para lelaki adalah para buruh atau para pekerja yang merelakan dirinya bekerja pagi hingga sore hari sebagai pencetak batu-bata, meskipun upah yang didapatnya tidak sebanding dengan pekerjaannya. Banyaknya pekerja batu bata di kota Palu 350. Pekerja batu bata di kota Palu sudah ada semenjak tahun 60-an. Naskah “Topogente” ini juga menyinggung kerapuan ekonomi, fisik dan mental para pembuat batu bata. Meskipun demikian sebagian kecil Topogente (para pencetak batu bata) tetap setia dengan pekerjaannya. inilah yang disebut dengan absurditas. Nietzsche mengemukakan hal tersebut dengan sebutan Amourfati, yakni mencintai apa yang dikerjakan hari ini dan hari esok meskipun pahit adanya. Manusia dibekali akal dan pikiran, yang melahirkan rasa ingin tahu, rasa ingin tahu inilah yang membawa manusia menggapai harapan dan keinginan di dalam eksistensinya.
Sementara lelaki satu sebagai pewarta, yakni orang yang menyampaikan kabar berita layaknya seorang pemimpin yang sedang berpidato di atas mimbar. Hand prop alat cetak batu bata yang digunakan lelaki satu berubah fungsi seolah menjadi lembaran kertas pengumuman. Sementara dalam naskah “Topogente” menghadirkan dialog-dialog yang penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan. Ilustrasinya dapat dilihan di bawah ini: “Berapa lama proses mencetak batu bata?” “Berapa harga satu truk pasir..?” “Berapa satu red tanah yang terpaksa dibeli dengan pihak lain?” “Berapa biaya berobat ketika sakit karena memaksa diri kerja pagi sore?” Sebandingkah harga batu bata dengan harga batu bara?” “Harga semen dan harga harga lain yang kita beli karena menjadi kebutuhan kita.” Sementara hasil pembakaran yang dijual lebih murah dari sebungkus rokok. Lelaki dua tidak memperdulikan keberadaannya nampak pada dialog berikut: “Lumayanlah ada hasilnya sedikit diselip di meja judi, dan toh anak istri kita belum juga kelaparan.” “Manusia adalah binatang berakal yang memiliki rasa lapar sedemikian parah dalam nurani dan kesadaran.”
Dialog tersebut sebagai simbol yang menggambarkan tentang manusia itu sendiri, yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Sementara tokoh perempuan yang terdapat dalam naskah “Topogente” adalah simbol bumi itu sendiri. Bumi itu sendiri ibarat negara yang berlubang-lubang dan belang-belang. Berlubang-lubang dan belang-belang adalah sebuah janji yang selalu diingkari. Janji tersebut berhubungan dengan lapangan kerja dan pemberantasan kemiskinan, akan tetapi pada realitasnya belum juga terwujud. Hal tersebut di atas berkait erat dalam dialog yang terdapat di dalam naskah “Topogente,” yakni “kentut.” Ketika mendengar kata kentut, yang terbesit di dalam pikiran kita adalah bau busuk. Bau busuk inilah yang diibaratkan sebuah janji yang tidak pernah ditepati. Sementara anak-anak sebagai generasi penerus bangsa atau negara ini menjadi tumbal keangkuhan idealisme individual yang tidak pernah berakhir. Mengharap sebuah ketenangan dan kedamaian tetapi kapan? Di mana kedamaian dan ketenangan itu ditemukan...? Hanya harapan dan penantianlah yang menemani kesendirian anak-anak itu. Berharap kebahagiaan itu akan datang (matahari) dan memeluk kedamaian yang hening (rembulan).
Jika dikaji dalam konvensi drama dialog dalam naskah “Topogente” sangat cerdas bagi para pekerja batu bata, karena menghadirkan dialog yang puitis bukan dialog yang realistis atau keseharian. Dunia seni adalah dunia kreatif, hal apa saja bisa dibenturkan, memutar balikan fakta dari realitas sebenarnya. Ini adalah pilihan atau gaya penulisan bagi pengarang.
Naskah “Topogente” menghadirkan dialeg lokal Buol (salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah) dan Kota Palu. Sementera Judul yang diambil dari bahasa Kaili, ini menyebabkan Judul akhirnya menjadi sebuah tempelan semata, “kenapa tidak bahasa Kaili saja yang dipakai.?” Mengingat Topogente juga ada di setiap daerah bahkan di kota-kota besar di Indonesia. Inilah yang menyebabkan sutradara lebih memilih menghadirkan dialeg untuk memperkenalkan budaya lokal melalui dialeg daerah, bahwa di kota Palu memiliki ragam dialeg dan bukan hanya dialeg saja yang dihadirkan, melainkan juga alat musik lokal, seperti gimba (gendang), kecapi (alat musik petik pada daerah pesisir kota Palu dan kabupaten Donggala), Kakula (sejenis bonang pada gamelan jawa atau talempong di sumatera barat) dan lalove (suling) dan garapan musik vocal tradisi. Ini sudah cukup mewakili. Kembali mengingat pada “Event Internasional Negarakretagama” yang akan di hadiri beberapa kota dan negara besar lainnya.
Struktur
Plot
Naskah “Topogente” alur ceritanya melingkar tidak ada akhir atau penyelesaian sebuah cerita, hanya menghadirkan peristiwa demi peristiwa dan menampakkan awal adegan sama persis pada akhir adegan, perbedaanya terdapat pada dialog seperti ilustrasi di bawah ini:
Lelaki 1 :Saudara-saudara sekalian……………………………………………………………………………………………………………..kepada yang mau mendengar pengumuman (Hal. 1)
Pada ending atau akhir adegan dialognya dapat dilihat di bawah ini:
Lelaki 1 : Saudara-saudara sekalian saya akan menyampaikan kabar…………….
................................kepada calon pemimpin yang akan datang (Hal. 6)
Karakter
Tokoh adalah bahan paling aktif sebagai penggerak dalam cerita. Tokoh adalah sumber utama terjadinya suatu peristiwa yang muncul dan hadir hingga akhirnya berkembang menjadi satu bangunan peristiwa dialog, baik melalui tubuh maupun kata. Tokoh dalam naskah “Topogente” dimainkan dalam dua karakter, berawal dari tokoh dewasa kemudian para pemain berubah menjadi anak-anak. Adapun analisis tokoh dewasa sebagai berikut:
Lelaki 1 : Psikologis: Tegas.
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Tinggi kurus.
Lelaki 2 : Psikologis: Mudah marah
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata
Fisiologis : Kurus.
Lelaki 3 : Psikologis: Takut dan tertekan
Sosiologis: Kelas bawah, pencetak batu bata.
Fisiologis : Kurus.
Perempuan : Tegas, sabar. dingin. Simbol bumi, tanah, dan negara yang menjadi korban keangkuhan manusia, meskipun demikian dia tidak pernah menyerah.
Tema
Menunjukan arah tujuan cerita. Tema sama halnya dengan pondasi bangunan rumah. Sebagus apapun rumah, tanpa campuran yang baik bangunan itu akan retak dan runtuh. Fondasi di sini adalah dasar atau pijakan bahwa tidak ada bangunan cerita drama yang baik tanpa sebuah tema. Tema yang terkandung dalam naskah Topogente “ Penderitaan tanpa sebuah akhir.”
Tekstur
Dialog
Dialog berfungsi sebagai alat aktor untuk menyampaikan pesan kepada penonton melalui suara dan gerak tubuh. Dalam naskah “Topogente” Ashar Yotomaruangi menghadirkan dialog sastra yang memiliki nilai filosofis dan menggabungkannya dengan bahasa keseharian. Ilustrasinya dapat dilihat di bawah ini:
Perempuan : Dunia sebagai karya tuhan yang terus berduka oleh luka ketidakberdayaan kalian para Topogente dipukul sembilan, dipukul dua belas, dipukul tiga, dipukul enam. Itulah sebabnya bopeng-bopeng dataran tanah diakibatkan oleh kita Topogente adalah juga bopeng-bopeng dataran hidup yang terus menerus dinikmati (Hal. 5)
Sementara penghadiran bahasa keseharian dan dialog yang minim:
Lelaki 2 : Bilang saja apa isi pengumumannya.
Lelaki 1 : Jangan dulu..jangan mendesak kamu.
Lelaki 2 : Bukan mendesak kamu yang kelamaan bikin susah orang saja.
Lelaki 3 : Kamu juga terlalu kasar (Hal. 1)
Sutradara menghilangkan beberapa dialog yang dianggap verbal akan tetapi dialog tersebut tidak dibuang melainkan dipindahkan ke tubuh aktor, contoh sebagai berikut:
Lelaki 1 : (Ya..sebab pembakaran benda padat yang kita lakukan bertahun-tahun setiap harinya mengotori langit daya topang bumi goyah (Hal. 2)
Suasana
Suasana sama halnya dengan irama. Suasana dalam pertunjukan tergantung pada gabungan berbagai unsur termasuk spektakel dan bahasa yang kemudian mencipta irama. Dalam naskah “Topogente” pada awal adegan menghadirkan tempo cepat, sebab lelaki 1 masuk dengan tergesa ingin mengabarkan berita, kemudian berubah menjadi tegang, dengan hadirnya lelaki dua yang tidak sabar menunggu kabar berita. Ketegangan pun menjadi sebuah lelucon. Semangat kerja pencetak batu bata yang penuh dengan keharmonisan digambarkan melalui gerak rampak para lelaki hingga terciptalah bunyi yang beraturan, bunyi tersebut lambat laun berubah menjadi kacau dan tak beraturan alias caos. Kacau dan tak beraturan tersebut adalah simbol realitas kehidupan manusia dalam keberadaannya.
Rangkuman
Berawal pada tempo cepat kemudian berubah menjadi tegang lalu ketegangan pun menjadi sebuah lelucon yang membawa pada sebuah keharmonisan tiba-tiba muncul lagi kekacauan yang menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tanpa sebuah akhir.
Spektakel
spektakel efek khusus dalam naskah yang diciptakan. Spektakel suatu daya tarik yang hadir secara visual di atas panggung. Spektakel yang dihadirkan dalam naskah “Topogente” terdapat pada teknik muncul pemain, kostum, gerak rampak pemain yang menghadirkan irama, hand prop tidak hanya berfungsi sebagai alat cetak batu bata, tetapi bisa menjadi multifungsi, yakni lembar kertas pengumuman, bantal, borgol, bayi, dan juga pigura.
Setting / latar
Waktu : Terjadi dalam satu hari dimulai dari pagi sampai sore hari.
Tempat : Tanah lapang
Peristiwa : Pertemuan yang menjadi perdebatan antara para pekerja batu bata.
Sinopsis
Berawal pada sebuah kegelisahan eksistensi. Kerja tiada lelah, nasib para pencetak batu bata yang tidak kunjung berubah. Bagaimana kita menangani hal yang berkait erat dengan keselamatan pendidikan, kesehatan dan lingkungan? Melihat kesejahtraan dan pengembangan usaha para Topogente? Dampak hubungan manusia, alam dan lingkungan yang semakin hari semakin nampak. Tanah-tanah menjadi bopeng, asap pembakaran setiap hari mengotori langit. Akibatnya daya topang bumi menjadi goyah. Perdebatan panjang yang tak kunjung usai....Kenapa? Bagaimana? Siapa? Di mana? Ke mana? Ini gelap, Lentera tak akan pernah padam..! kepada calon pemimpin yang akan datang, akankah kita??? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
M. Noerdianza
Pertunjukan Teater Sanggar Seni Kota Palu
Taman Budaya Cak Durasim Surabaya
Tanggal 24 Juni 2010 Jam, 20:00
Oleh: M. Noerdianza
Berangkat dari tulisan yang di muat dalam surat kabar harian Kompas Surabaya Jumat, 25 Juni 2010 pada kolom Humaniora halaman J mengenai pertunjukan Sanggar Seni Lentera Kota Palu dalam “Festival Negarakretagama” dengan judul “Jeritan Pembuat Batu Bata, Potret Kemiskian”. Mengupas tentang potret masyarakat yang setiap hari bergelut dalam pembuatan batu bata demi mempertahankan hidup dari berbagai tekanan kehidupan. Tingginya harga kebutuhan pokok hingga minyak tanah yang kerap kali lenyap di tengah masyarakat miskin. Hal ini setidaknya tersirat saat Sanggar Seni Lentera kota Palu Sulawesi Tengah mengusung lakon “Topogente” dalam pementasan seni pertunjukkan teater pra Festival Negarakretagama, kamis (24/6) di gedung Cak Durasim, Surabaya.
Pertunjukan seni teater yang diangkat berdasarkan naskah “Topogente” yang ditulis oleh Ashar Yotomaruangi, kata sutradara pementasan ”Topogente”, M. Noerdianza, terinspirasi realitas kehidupan pembuat batu bata yang hidupnya tidak pernah beranjak baik sepanjang kehidupannya. Bahkan suatu hari seorang pembuat batu bata yang bekerja dari pagi sampai sore hari meninggal dunia,” kata Noerdianza.
Seni teater sebagai ekspresi sekaligus eksplorasi ide gagasan, bahkan pemikiran kritis terhadap berbagai ragam persoalan hidup dan kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat, seolah menemukan ruangnya saat pekerja seni teater Sanggar Seni Lentera kota Palu, Sulawesi Tengah, menyuarakan jeritan rakyat kecil dan miskin melalui potret kehidupan Topogente yang berarti pekerja tanah liat (pembuat batu bata).
Rajutan kisah Topogente dalam panggung teater yang dimainkan oleh tiga orang lelaki (Irwan Pangeran, Ipin dan Noerdianza/Toto) dan seorang perempuan (Ade fitri), sesungguhnya potret kemiskinan dari sebagian rakyat yang karena ketidakmampuannya mencari alternativ untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya. Akibatnya, masyarakat terpaksa merusak lingkungannya dengan menghidupi dan keluarganya.
Nasib Topogente, sang pembuat batu-bata, adalah prototype kaum pekerja keras yang termarjinalkan oleh sistem yang ada. Realitas itu saat empat lelaki yang memerankan pembuat batu-bata harus pontang –panting mencangkul tanah, mengolah, mencetak, lalu menjemur dan membakar. Namun dalam bagian lain sebuah potret kepedihan muncul dan menggelayuti pekerja keras pembuat batu-bata yang terekspresikan melalui tiga orang lelaki yang memainkannya di atas panggung dengan apik. Ilustrasi musik gitar, gimba, kacapi, seruling dan vokal (lalove, alat musik tiup khas tanah palu, sulteng) yang di mainkan Paul Natsir, Izat, dan Kalsum menyertai setiap adegan yang diliputi suasana kepedihan dan jeritan atas nasib kaum pekerja keras kelurahan tatura, kota Palu.
Sementara surat kabar Seputar Indonesia (Seputar Surabaya) Jumat, 25/6/ 2010 hal. 11 “Topogente, Representasi Protes Marginalisasi.” Surabaya (S1) topogente merupakan kata dalam bahasa kaili, sebuah suku di Sulawesi Tengah. Kata ini berkaitan dengan cara membuat batu bata yang lazim dilakukan di daerah tersebut. Namun, topogente bukan sekedar cara, melainkan representasi sebuah marginalisasi kaum bawah. Cerita berjudul topogente dilakonkan teater Lentera Palu asal Sulawesi Tengah di gedung kesenian Cak Durasim, kemarin malam (24/6/2010). Alat topogente yang berupa papan dan kayu pelurus merupakan wujud kondisi para buruh kelas bawah yang nasibnya tidak pernah diperhatikan pemerintah. Kami mencoba membawa suasana para pekerja kasar kelas rendahan yang tidak pernah dilirik pemerintah. Upah kecil dan berbagai minoritas fasilitas membuat mereka jauh dari kesejahteraan, papar sutradara pementasan “Topogente” M. Noerdianza kemarin. Penggambaran minimnya taraf kehidupan para pembuat batu bata di angkat oleh keempat pemain dari teater Lentera Palu untuk melakukan penyaluran aspirasi sebuh suara bahwa saat ini kondisi buruh kelas bawah mengalami penderitaan yang seolah tiada akhir. Dari gerak tari dan berbagai bahasa tubuh yang ada, mereka menyampaikan kondisi mereka saat ini. Papan untuk membuat batu bata menjadi alat yang senantiasa hadir dalam setiap aktifitas yang digambarkan. Aktifitas tersebut mulai dari rapat di mana papan itu beralih fungsi menjadi papan tulis, lalu saat tidur papan berubah menjadi bantal, dan ketika seorang perempuan mengamuk papan itu terpaksa menjadi alat kekang. Pentas yang dipunggawani M. Noerdianza Kaili, Irwan Pangeran, Ipin dan Ade Fitri, ini berlangsung sekitar 30 menit. Pentas itu menampilkan berbagai kegiatan dan juga konflik antar pelakon. Ashar Yotomaruangi, penulis naskah, mengungkapkan bahwa cerita ini akan dipentaskan di dua kota, yakni Surabaya dan Kendari.
Sanggar Seni Lentera mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari para penonton yang hadir malam itu (24/6) di antaranya kaum pelajar, mahasiswa, pekerja pemerhati seni, seniman sampai dinas pemerintah setempat. Sampai sesi diskusi yang di gelar setelah petunjukan pun, hangat dengan saran, kritik, dan ucapan selamat. Mas Dodi Teater Mesin Surabaya memeberikan aplus terhadap Sanggar Seni Lentera Kota Palu, menurutnya pertunjukan Lentera tertata dengan rapih, penghadiran spektakel yang memukau penataan, Mas Obeng Teater API seniman Surabaya mengatakan Teater Lentera memiliki warna tersendiri dalam pertunjukannya dan Sasa Jurnalis/Markom Surabaya. Mengatakan penyutradaraan Topogente terstruktur, mulai dari bloking, komposisi, levelitas, kekompakan dan sampai apa yang ingin disampaikan.
Pertunjukan Sanggar Seni Lentera di Surabaya (Kota Pahlawan) tidak lepas dari dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak di antaranya Ketua Dewan Kesenian Palu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu, Ketua Seniman Peduli Narkoba dan Dra. Ince Rahma Borahima.
“Pakasalama Adata Pura” Tageline ini yang selalu mengantar sanggar seni lentera dalam setiap langkah perjuangannya dalam bergerak, maju dan menang.Salandoa Kami.
Taman Budaya Cak Durasim Surabaya
Tanggal 24 Juni 2010 Jam, 20:00
Oleh: M. Noerdianza
Berangkat dari tulisan yang di muat dalam surat kabar harian Kompas Surabaya Jumat, 25 Juni 2010 pada kolom Humaniora halaman J mengenai pertunjukan Sanggar Seni Lentera Kota Palu dalam “Festival Negarakretagama” dengan judul “Jeritan Pembuat Batu Bata, Potret Kemiskian”. Mengupas tentang potret masyarakat yang setiap hari bergelut dalam pembuatan batu bata demi mempertahankan hidup dari berbagai tekanan kehidupan. Tingginya harga kebutuhan pokok hingga minyak tanah yang kerap kali lenyap di tengah masyarakat miskin. Hal ini setidaknya tersirat saat Sanggar Seni Lentera kota Palu Sulawesi Tengah mengusung lakon “Topogente” dalam pementasan seni pertunjukkan teater pra Festival Negarakretagama, kamis (24/6) di gedung Cak Durasim, Surabaya.
Pertunjukan seni teater yang diangkat berdasarkan naskah “Topogente” yang ditulis oleh Ashar Yotomaruangi, kata sutradara pementasan ”Topogente”, M. Noerdianza, terinspirasi realitas kehidupan pembuat batu bata yang hidupnya tidak pernah beranjak baik sepanjang kehidupannya. Bahkan suatu hari seorang pembuat batu bata yang bekerja dari pagi sampai sore hari meninggal dunia,” kata Noerdianza.
Seni teater sebagai ekspresi sekaligus eksplorasi ide gagasan, bahkan pemikiran kritis terhadap berbagai ragam persoalan hidup dan kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat, seolah menemukan ruangnya saat pekerja seni teater Sanggar Seni Lentera kota Palu, Sulawesi Tengah, menyuarakan jeritan rakyat kecil dan miskin melalui potret kehidupan Topogente yang berarti pekerja tanah liat (pembuat batu bata).
Rajutan kisah Topogente dalam panggung teater yang dimainkan oleh tiga orang lelaki (Irwan Pangeran, Ipin dan Noerdianza/Toto) dan seorang perempuan (Ade fitri), sesungguhnya potret kemiskinan dari sebagian rakyat yang karena ketidakmampuannya mencari alternativ untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya. Akibatnya, masyarakat terpaksa merusak lingkungannya dengan menghidupi dan keluarganya.
Nasib Topogente, sang pembuat batu-bata, adalah prototype kaum pekerja keras yang termarjinalkan oleh sistem yang ada. Realitas itu saat empat lelaki yang memerankan pembuat batu-bata harus pontang –panting mencangkul tanah, mengolah, mencetak, lalu menjemur dan membakar. Namun dalam bagian lain sebuah potret kepedihan muncul dan menggelayuti pekerja keras pembuat batu-bata yang terekspresikan melalui tiga orang lelaki yang memainkannya di atas panggung dengan apik. Ilustrasi musik gitar, gimba, kacapi, seruling dan vokal (lalove, alat musik tiup khas tanah palu, sulteng) yang di mainkan Paul Natsir, Izat, dan Kalsum menyertai setiap adegan yang diliputi suasana kepedihan dan jeritan atas nasib kaum pekerja keras kelurahan tatura, kota Palu.
Sementara surat kabar Seputar Indonesia (Seputar Surabaya) Jumat, 25/6/ 2010 hal. 11 “Topogente, Representasi Protes Marginalisasi.” Surabaya (S1) topogente merupakan kata dalam bahasa kaili, sebuah suku di Sulawesi Tengah. Kata ini berkaitan dengan cara membuat batu bata yang lazim dilakukan di daerah tersebut. Namun, topogente bukan sekedar cara, melainkan representasi sebuah marginalisasi kaum bawah. Cerita berjudul topogente dilakonkan teater Lentera Palu asal Sulawesi Tengah di gedung kesenian Cak Durasim, kemarin malam (24/6/2010). Alat topogente yang berupa papan dan kayu pelurus merupakan wujud kondisi para buruh kelas bawah yang nasibnya tidak pernah diperhatikan pemerintah. Kami mencoba membawa suasana para pekerja kasar kelas rendahan yang tidak pernah dilirik pemerintah. Upah kecil dan berbagai minoritas fasilitas membuat mereka jauh dari kesejahteraan, papar sutradara pementasan “Topogente” M. Noerdianza kemarin. Penggambaran minimnya taraf kehidupan para pembuat batu bata di angkat oleh keempat pemain dari teater Lentera Palu untuk melakukan penyaluran aspirasi sebuh suara bahwa saat ini kondisi buruh kelas bawah mengalami penderitaan yang seolah tiada akhir. Dari gerak tari dan berbagai bahasa tubuh yang ada, mereka menyampaikan kondisi mereka saat ini. Papan untuk membuat batu bata menjadi alat yang senantiasa hadir dalam setiap aktifitas yang digambarkan. Aktifitas tersebut mulai dari rapat di mana papan itu beralih fungsi menjadi papan tulis, lalu saat tidur papan berubah menjadi bantal, dan ketika seorang perempuan mengamuk papan itu terpaksa menjadi alat kekang. Pentas yang dipunggawani M. Noerdianza Kaili, Irwan Pangeran, Ipin dan Ade Fitri, ini berlangsung sekitar 30 menit. Pentas itu menampilkan berbagai kegiatan dan juga konflik antar pelakon. Ashar Yotomaruangi, penulis naskah, mengungkapkan bahwa cerita ini akan dipentaskan di dua kota, yakni Surabaya dan Kendari.
Sanggar Seni Lentera mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari para penonton yang hadir malam itu (24/6) di antaranya kaum pelajar, mahasiswa, pekerja pemerhati seni, seniman sampai dinas pemerintah setempat. Sampai sesi diskusi yang di gelar setelah petunjukan pun, hangat dengan saran, kritik, dan ucapan selamat. Mas Dodi Teater Mesin Surabaya memeberikan aplus terhadap Sanggar Seni Lentera Kota Palu, menurutnya pertunjukan Lentera tertata dengan rapih, penghadiran spektakel yang memukau penataan, Mas Obeng Teater API seniman Surabaya mengatakan Teater Lentera memiliki warna tersendiri dalam pertunjukannya dan Sasa Jurnalis/Markom Surabaya. Mengatakan penyutradaraan Topogente terstruktur, mulai dari bloking, komposisi, levelitas, kekompakan dan sampai apa yang ingin disampaikan.
Pertunjukan Sanggar Seni Lentera di Surabaya (Kota Pahlawan) tidak lepas dari dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak di antaranya Ketua Dewan Kesenian Palu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu, Ketua Seniman Peduli Narkoba dan Dra. Ince Rahma Borahima.
“Pakasalama Adata Pura” Tageline ini yang selalu mengantar sanggar seni lentera dalam setiap langkah perjuangannya dalam bergerak, maju dan menang.Salandoa Kami.
Thursday, February 25, 2010
Pertunjukan Teater
“Bos”
Karya Sutradara M. Noerdianza
Asisten Sutradara Dikson
Taman Budaya Kota Palu Sulawesi Tengah
3 April 2010. 19.30 Wita
Sebagai sebuah kelompok teater, rasanya perlu arah yang jelas jika masih ingin hidup lebih lama lagi. Setelah itu dengan berbagai cara, Sanggar Seni Lentera mencari terus arah-arah tersebut dengan mementaskan berbagai gaya dan bentuk pemanggungan serta aliran dalam teater. Dari pengalaman inilah SSL baru menemukan berbagai macam pemikiran, alasan yang menjadi landasan dalam memilih. Minimalnya untuk mempertebal iman serta keberanian dalam pemilihan tersebut. Setelah sekian lama mengalami kevakuman bukan berarti hilang dari per-teater-an di kota Palu melainkan mengendapkan diri melakukan proses perenungan pencarian jati diri.
SSL akan kembali berproduksi mementaskan karya sendiri yang tentunya berangkat pada budaya lokal dengan keberangkatan isu sosial sebagai teks diberi judul “BOS” naskah sutradara M. Noerdianza. Asisten sutradara Dikson. Sebagaimana yang kita pahami bahwa kesenian itu sendiri tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Bagaimanapun kebudayaan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang dimana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.
Setiap individu mengalami pergulatan batin dengan dunianya yang memaksa manusia untuk bersikap dengan cara apapun demi mendapatkan apa yang menjadi kehendak. Sikap jujur adalah prioritas utama manusia dalam menyikapi kehidupan bermasyarakat. Bahkan sebaliknya sikap jujur hanya kolase semata, kecerdasan disalah gunakan hanya karena sebuah kepentingan. “Bos” mengkisahkan sekelompok masyarakat pemulung mengais rezeki di tumpukan sampah. Kehidupan modernitas mempengaruhi pola pikir manusia. Keinginan merubah hidup berakhir dengan penderitaan. Selalu saja ada hal-hal yang aneh, penuh dengan teka-teki yang sulit diterima logika.
Orang-orang sampah yang selama ini dianggap orang-orang yang terbelakang tentang segala hal. Tetapi di dalam lakon “BOS” ini, kisahnya tidak demikian. Cerita ini memutarbalikan fakta, bahwa peristiwa-peristiwa yang mereka ketahui dari koran-koran bekas yang ditemukan dijalan-jalan, dan tong-tong sampah menjadikan mereka para pemikir intelektual.
Bos mengkisahkan seputar realitas sosial kehidupan masyarakat pemulung di kota Palu yang menggambarkan peristiwa demi peristiwa sepanjang tahun 2000. Mulai di tahun 2005 sampai pada tahun 2010. Peristiwa tersebut dikemas sedemikian rupa kemudian menggabungkannya menjadi satu kesatuan hingga menjadikan alur dalam sebuah cerita, layaknya kolase atau seni tempelan. Peristiwa tersebut menyangkut kasus pelayanan rumah sakit yang lebih mengutamkan administrasi dari pada pasien, TPS, korupsi, kasus bank Century, teroris, berjudian, kasus narkoba, seni budaya, dan TKW sampai pada latar belakang sejarah kaili. Secara garis besar naskah “BOS” beraliran kontemporer . Teknik penggarapan dan gaya pemanggungan dibuat solah-olah realis.
Kontemporer berasal dari kata tempo atau waktu pada masa kini atau dewasa ini. Kontemporer tumbuh dan berkembang pada masa re-naisance. Dalam konteks pertunjukan, teater kontemporer kita temukan dalam lakon klasik. Seperti halnya di Negeri Eropa kita mengenal kisah cinta “Romeo dan Juliet”, “Oidipus”, di Indonesia kita mengenal cerita klasik wong Jowo “Roro mendut”, “Sampek Engtay”. Pada dewasa ini cerita klasik tersebut di rombak, memutar balikan fakta sesuai konteks kekinian, dan perubahannya bisa saja dilihat dari perubahan kostum, sett, properti, lakon, make up, pemeranan yang tidak lagi melihat latar belakang waktu, tempat dan peristiwa lampau melainkan peristiwa kekinian. Tetapi konvensi masa lalu tidak dibuang melainkan sebagai dasar pijakan, maka dalam kontemporer tidak ada pertanyaan yang terjawab secara otomatis, tidak ada gaya yang wajib dianut, tidak ada penafsiran yang selalu benar. Jean Paul sartre mengatakan bahwa manusia mendapat hukuman dengan hidup secara bebas. Dunia teater membebaskan sutradara berhadapan dengan hampir semua kehidupan tanpa batas, yang membawanya pada kegelisahan eksistensial yaitu kegelisahan yang mengerikan sebagai tantangan yang mendebarkan.
Realis adalah segala sesuatu yang nyata, segala sesuatu yang sama dengan realita. Aliran realis dalam seni, aliran yang menghasilkan karya seperti dalam realita kehidupan. Realita dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat lingkungannya. Namun bentuk dan media ekspresi dalam menghasilkan karya seni yang berbeda, menyebabkan penerapan realism dalam karya seni berbeda, antara karya seni satu dan lainnya. Realism dalam teater ialah untuk menciptakan sesuatu di atas panggung seperti “kenyataan” yang ada. Menciptakan ilusi kenyataan di atas panggung. Seolah-olah penonton menyaksikan apa yang terjadi seperti dalam kenyataan sehari-hari.
Sebagai seni kolektif yang tersusun atas 3 (tiga) komponen, seni teater mengalami banyak “hambatan” kendala, karena ketiga komponennya dapat mempunyai pendekatan yang sama atau “berbeda” ketiganya dapat menggunakan aliran yang sama, tetapi dapat juga salah satu komponen meng-ikuti “aliran yang tidak sama”.
Karya Sutradara M. Noerdianza
Asisten Sutradara Dikson
Taman Budaya Kota Palu Sulawesi Tengah
3 April 2010. 19.30 Wita
Sebagai sebuah kelompok teater, rasanya perlu arah yang jelas jika masih ingin hidup lebih lama lagi. Setelah itu dengan berbagai cara, Sanggar Seni Lentera mencari terus arah-arah tersebut dengan mementaskan berbagai gaya dan bentuk pemanggungan serta aliran dalam teater. Dari pengalaman inilah SSL baru menemukan berbagai macam pemikiran, alasan yang menjadi landasan dalam memilih. Minimalnya untuk mempertebal iman serta keberanian dalam pemilihan tersebut. Setelah sekian lama mengalami kevakuman bukan berarti hilang dari per-teater-an di kota Palu melainkan mengendapkan diri melakukan proses perenungan pencarian jati diri.
SSL akan kembali berproduksi mementaskan karya sendiri yang tentunya berangkat pada budaya lokal dengan keberangkatan isu sosial sebagai teks diberi judul “BOS” naskah sutradara M. Noerdianza. Asisten sutradara Dikson. Sebagaimana yang kita pahami bahwa kesenian itu sendiri tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Bagaimanapun kebudayaan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang dimana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah.
Setiap individu mengalami pergulatan batin dengan dunianya yang memaksa manusia untuk bersikap dengan cara apapun demi mendapatkan apa yang menjadi kehendak. Sikap jujur adalah prioritas utama manusia dalam menyikapi kehidupan bermasyarakat. Bahkan sebaliknya sikap jujur hanya kolase semata, kecerdasan disalah gunakan hanya karena sebuah kepentingan. “Bos” mengkisahkan sekelompok masyarakat pemulung mengais rezeki di tumpukan sampah. Kehidupan modernitas mempengaruhi pola pikir manusia. Keinginan merubah hidup berakhir dengan penderitaan. Selalu saja ada hal-hal yang aneh, penuh dengan teka-teki yang sulit diterima logika.
Orang-orang sampah yang selama ini dianggap orang-orang yang terbelakang tentang segala hal. Tetapi di dalam lakon “BOS” ini, kisahnya tidak demikian. Cerita ini memutarbalikan fakta, bahwa peristiwa-peristiwa yang mereka ketahui dari koran-koran bekas yang ditemukan dijalan-jalan, dan tong-tong sampah menjadikan mereka para pemikir intelektual.
Bos mengkisahkan seputar realitas sosial kehidupan masyarakat pemulung di kota Palu yang menggambarkan peristiwa demi peristiwa sepanjang tahun 2000. Mulai di tahun 2005 sampai pada tahun 2010. Peristiwa tersebut dikemas sedemikian rupa kemudian menggabungkannya menjadi satu kesatuan hingga menjadikan alur dalam sebuah cerita, layaknya kolase atau seni tempelan. Peristiwa tersebut menyangkut kasus pelayanan rumah sakit yang lebih mengutamkan administrasi dari pada pasien, TPS, korupsi, kasus bank Century, teroris, berjudian, kasus narkoba, seni budaya, dan TKW sampai pada latar belakang sejarah kaili. Secara garis besar naskah “BOS” beraliran kontemporer . Teknik penggarapan dan gaya pemanggungan dibuat solah-olah realis.
Kontemporer berasal dari kata tempo atau waktu pada masa kini atau dewasa ini. Kontemporer tumbuh dan berkembang pada masa re-naisance. Dalam konteks pertunjukan, teater kontemporer kita temukan dalam lakon klasik. Seperti halnya di Negeri Eropa kita mengenal kisah cinta “Romeo dan Juliet”, “Oidipus”, di Indonesia kita mengenal cerita klasik wong Jowo “Roro mendut”, “Sampek Engtay”. Pada dewasa ini cerita klasik tersebut di rombak, memutar balikan fakta sesuai konteks kekinian, dan perubahannya bisa saja dilihat dari perubahan kostum, sett, properti, lakon, make up, pemeranan yang tidak lagi melihat latar belakang waktu, tempat dan peristiwa lampau melainkan peristiwa kekinian. Tetapi konvensi masa lalu tidak dibuang melainkan sebagai dasar pijakan, maka dalam kontemporer tidak ada pertanyaan yang terjawab secara otomatis, tidak ada gaya yang wajib dianut, tidak ada penafsiran yang selalu benar. Jean Paul sartre mengatakan bahwa manusia mendapat hukuman dengan hidup secara bebas. Dunia teater membebaskan sutradara berhadapan dengan hampir semua kehidupan tanpa batas, yang membawanya pada kegelisahan eksistensial yaitu kegelisahan yang mengerikan sebagai tantangan yang mendebarkan.
Realis adalah segala sesuatu yang nyata, segala sesuatu yang sama dengan realita. Aliran realis dalam seni, aliran yang menghasilkan karya seperti dalam realita kehidupan. Realita dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat lingkungannya. Namun bentuk dan media ekspresi dalam menghasilkan karya seni yang berbeda, menyebabkan penerapan realism dalam karya seni berbeda, antara karya seni satu dan lainnya. Realism dalam teater ialah untuk menciptakan sesuatu di atas panggung seperti “kenyataan” yang ada. Menciptakan ilusi kenyataan di atas panggung. Seolah-olah penonton menyaksikan apa yang terjadi seperti dalam kenyataan sehari-hari.
Sebagai seni kolektif yang tersusun atas 3 (tiga) komponen, seni teater mengalami banyak “hambatan” kendala, karena ketiga komponennya dapat mempunyai pendekatan yang sama atau “berbeda” ketiganya dapat menggunakan aliran yang sama, tetapi dapat juga salah satu komponen meng-ikuti “aliran yang tidak sama”.
Tuesday, February 2, 2010
Merpson Lokakarya Pekan Budaya dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah ke IX yang akan dilaksanakan di Palu 22-27 Juni bertempat di Palu Golden Hotel
Adapun yang dijadikan tanggapan pada tulisan ini,
Workshop Seni Pertunjukan
pada poin tiga
Workshop untuk guru-guru Kesenian baik tingkat SD, SMP, dan SMA.
Oleh
M. Noerdianza
Sebagai pecinta seni teater sangat mendukung adanya kegiatan ini. Sudah seharusnya kita memperkenalkan budaya kita kepada masyarakat luas, kalau bukan kita siapa lagi..? Tidak ada kata terlambat, kita tunjukan bahwa kita mampu berbuat melestarikan dan mengembangkan seni budaya di kota Palu Sulawesi Tengah, khususnya Indonesia dan umumnya pada dunia. Kita harus bersyukur dengan adanya klem Malaysia terhadap kesenian di Indonesia. Adanya klem tersebut membuka pikiran kita yang selama ini tertutup rapat hanya karena kepentingan individualisme, tanpa memikirkan betapa pentingnya pertumbuhan dan pelestarian seni budaya lokal, Begitu banyak gagasan-gagasan yang menarik dari Dinas Kebudayaan baik Kota maupun Propinsi. Tetapi untuk pengolahan manajemen pertunjukannya amburadul alias kacau. Kenapa hal ini terjadi? Ini sudah menjadi hukum alam siapa yang kuat dia yang dapat meskipun itu bukan bidangnya. Semoga saja masalah klasik ini tidak akan terjadi lagi.
Adanya Workshop guru-guru kesenan baik tingkat SD, SMP, SMA, para sarjana seni khususnya anak daerah diberikan tempat memberikan jasanya bagi daerahnya. Namun sebelumnya Teater sudah berbuat memberikan sumbangsih besar bagi daerahnya dengan mengadakan Workshop Teater Penyutradaraan dan Keaktoran dan waktu pelaksanaannya di bulan Oktober 2009 bertempat di Taman Budaya Kota Palu. Peserta workshop tersebut terdiri dari guru seni di tingkat SMA, Mahasiswa, Kelompok, Komunitas, dan Sanggar teater. Penulis kembali menandaskan workshop ini harus berkelanjutan tidak hanya sebatas workshop saja, melainkan semua peserta workshop penyutradaraan dan keaktoran diberikan ruang untuk berproduksi. Terlaksananya program berkelanjutan ini DKP bekerja sama dengan Dikjar, kemudian Dikjar memberi rekomendasi ke sekolah-sekolah bahwa DKP akan mengadakan Festival Teater Remaja (FTR). Semua peserta workshop penyutradaraan diterjunkan langsung ke sekolah-sekolah dan menyutradarai langsung di sekolah tersebut. Peserta terbaik dari festival Teater Remaja (FTR) akan mendapatkan piala dan piagam serta piala bergilir dari DKP. Piala bergilir tersebut akan menjadi rebutan layaknya petinju merebut sabuk emas. Tetapi dalam FTR, proses kreatif dalam penggarapan pentas yang menjadi ajang pertarungan untuk mempertahankan atau merebut piala bergilir dari DKP adalah proses kreatif penciptaan karya seni melalui drama atau teater. Oleh karena itu FTR menjadi kegitan tahunan. Dan FTR mulai berjalan di tahun 2009 bulan November. Semoga FTR berkelanjutan.
Workshop Seni Pertunjukan
pada poin tiga
Workshop untuk guru-guru Kesenian baik tingkat SD, SMP, dan SMA.
Oleh
M. Noerdianza
Sebagai pecinta seni teater sangat mendukung adanya kegiatan ini. Sudah seharusnya kita memperkenalkan budaya kita kepada masyarakat luas, kalau bukan kita siapa lagi..? Tidak ada kata terlambat, kita tunjukan bahwa kita mampu berbuat melestarikan dan mengembangkan seni budaya di kota Palu Sulawesi Tengah, khususnya Indonesia dan umumnya pada dunia. Kita harus bersyukur dengan adanya klem Malaysia terhadap kesenian di Indonesia. Adanya klem tersebut membuka pikiran kita yang selama ini tertutup rapat hanya karena kepentingan individualisme, tanpa memikirkan betapa pentingnya pertumbuhan dan pelestarian seni budaya lokal, Begitu banyak gagasan-gagasan yang menarik dari Dinas Kebudayaan baik Kota maupun Propinsi. Tetapi untuk pengolahan manajemen pertunjukannya amburadul alias kacau. Kenapa hal ini terjadi? Ini sudah menjadi hukum alam siapa yang kuat dia yang dapat meskipun itu bukan bidangnya. Semoga saja masalah klasik ini tidak akan terjadi lagi.
Adanya Workshop guru-guru kesenan baik tingkat SD, SMP, SMA, para sarjana seni khususnya anak daerah diberikan tempat memberikan jasanya bagi daerahnya. Namun sebelumnya Teater sudah berbuat memberikan sumbangsih besar bagi daerahnya dengan mengadakan Workshop Teater Penyutradaraan dan Keaktoran dan waktu pelaksanaannya di bulan Oktober 2009 bertempat di Taman Budaya Kota Palu. Peserta workshop tersebut terdiri dari guru seni di tingkat SMA, Mahasiswa, Kelompok, Komunitas, dan Sanggar teater. Penulis kembali menandaskan workshop ini harus berkelanjutan tidak hanya sebatas workshop saja, melainkan semua peserta workshop penyutradaraan dan keaktoran diberikan ruang untuk berproduksi. Terlaksananya program berkelanjutan ini DKP bekerja sama dengan Dikjar, kemudian Dikjar memberi rekomendasi ke sekolah-sekolah bahwa DKP akan mengadakan Festival Teater Remaja (FTR). Semua peserta workshop penyutradaraan diterjunkan langsung ke sekolah-sekolah dan menyutradarai langsung di sekolah tersebut. Peserta terbaik dari festival Teater Remaja (FTR) akan mendapatkan piala dan piagam serta piala bergilir dari DKP. Piala bergilir tersebut akan menjadi rebutan layaknya petinju merebut sabuk emas. Tetapi dalam FTR, proses kreatif dalam penggarapan pentas yang menjadi ajang pertarungan untuk mempertahankan atau merebut piala bergilir dari DKP adalah proses kreatif penciptaan karya seni melalui drama atau teater. Oleh karena itu FTR menjadi kegitan tahunan. Dan FTR mulai berjalan di tahun 2009 bulan November. Semoga FTR berkelanjutan.
Subscribe to:
Posts (Atom)