Monday, June 28, 2010

M. Noerdianza

Pertunjukan Teater Sanggar Seni Kota Palu
Taman Budaya Cak Durasim Surabaya
Tanggal 24 Juni 2010 Jam, 20:00
Oleh: M. Noerdianza

Berangkat dari tulisan yang di muat dalam surat kabar harian Kompas Surabaya Jumat, 25 Juni 2010 pada kolom Humaniora halaman J mengenai pertunjukan Sanggar Seni Lentera Kota Palu dalam “Festival Negarakretagama” dengan judul “Jeritan Pembuat Batu Bata, Potret Kemiskian”. Mengupas tentang potret masyarakat yang setiap hari bergelut dalam pembuatan batu bata demi mempertahankan hidup dari berbagai tekanan kehidupan. Tingginya harga kebutuhan pokok hingga minyak tanah yang kerap kali lenyap di tengah masyarakat miskin. Hal ini setidaknya tersirat saat Sanggar Seni Lentera kota Palu Sulawesi Tengah mengusung lakon “Topogente” dalam pementasan seni pertunjukkan teater pra Festival Negarakretagama, kamis (24/6) di gedung Cak Durasim, Surabaya.
Pertunjukan seni teater yang diangkat berdasarkan naskah “Topogente” yang ditulis oleh Ashar Yotomaruangi, kata sutradara pementasan ”Topogente”, M. Noerdianza, terinspirasi realitas kehidupan pembuat batu bata yang hidupnya tidak pernah beranjak baik sepanjang kehidupannya. Bahkan suatu hari seorang pembuat batu bata yang bekerja dari pagi sampai sore hari meninggal dunia,” kata Noerdianza.
Seni teater sebagai ekspresi sekaligus eksplorasi ide gagasan, bahkan pemikiran kritis terhadap berbagai ragam persoalan hidup dan kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat, seolah menemukan ruangnya saat pekerja seni teater Sanggar Seni Lentera kota Palu, Sulawesi Tengah, menyuarakan jeritan rakyat kecil dan miskin melalui potret kehidupan Topogente yang berarti pekerja tanah liat (pembuat batu bata).
Rajutan kisah Topogente dalam panggung teater yang dimainkan oleh tiga orang lelaki (Irwan Pangeran, Ipin dan Noerdianza/Toto) dan seorang perempuan (Ade fitri), sesungguhnya potret kemiskinan dari sebagian rakyat yang karena ketidakmampuannya mencari alternativ untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupannya. Akibatnya, masyarakat terpaksa merusak lingkungannya dengan menghidupi dan keluarganya.
Nasib Topogente, sang pembuat batu-bata, adalah prototype kaum pekerja keras yang termarjinalkan oleh sistem yang ada. Realitas itu saat empat lelaki yang memerankan pembuat batu-bata harus pontang –panting mencangkul tanah, mengolah, mencetak, lalu menjemur dan membakar. Namun dalam bagian lain sebuah potret kepedihan muncul dan menggelayuti pekerja keras pembuat batu-bata yang terekspresikan melalui tiga orang lelaki yang memainkannya di atas panggung dengan apik. Ilustrasi musik gitar, gimba, kacapi, seruling dan vokal (lalove, alat musik tiup khas tanah palu, sulteng) yang di mainkan Paul Natsir, Izat, dan Kalsum menyertai setiap adegan yang diliputi suasana kepedihan dan jeritan atas nasib kaum pekerja keras kelurahan tatura, kota Palu.



Sementara surat kabar Seputar Indonesia (Seputar Surabaya) Jumat, 25/6/ 2010 hal. 11 “Topogente, Representasi Protes Marginalisasi.” Surabaya (S1) topogente merupakan kata dalam bahasa kaili, sebuah suku di Sulawesi Tengah. Kata ini berkaitan dengan cara membuat batu bata yang lazim dilakukan di daerah tersebut. Namun, topogente bukan sekedar cara, melainkan representasi sebuah marginalisasi kaum bawah. Cerita berjudul topogente dilakonkan teater Lentera Palu asal Sulawesi Tengah di gedung kesenian Cak Durasim, kemarin malam (24/6/2010). Alat topogente yang berupa papan dan kayu pelurus merupakan wujud kondisi para buruh kelas bawah yang nasibnya tidak pernah diperhatikan pemerintah. Kami mencoba membawa suasana para pekerja kasar kelas rendahan yang tidak pernah dilirik pemerintah. Upah kecil dan berbagai minoritas fasilitas membuat mereka jauh dari kesejahteraan, papar sutradara pementasan “Topogente” M. Noerdianza kemarin. Penggambaran minimnya taraf kehidupan para pembuat batu bata di angkat oleh keempat pemain dari teater Lentera Palu untuk melakukan penyaluran aspirasi sebuh suara bahwa saat ini kondisi buruh kelas bawah mengalami penderitaan yang seolah tiada akhir. Dari gerak tari dan berbagai bahasa tubuh yang ada, mereka menyampaikan kondisi mereka saat ini. Papan untuk membuat batu bata menjadi alat yang senantiasa hadir dalam setiap aktifitas yang digambarkan. Aktifitas tersebut mulai dari rapat di mana papan itu beralih fungsi menjadi papan tulis, lalu saat tidur papan berubah menjadi bantal, dan ketika seorang perempuan mengamuk papan itu terpaksa menjadi alat kekang. Pentas yang dipunggawani M. Noerdianza Kaili, Irwan Pangeran, Ipin dan Ade Fitri, ini berlangsung sekitar 30 menit. Pentas itu menampilkan berbagai kegiatan dan juga konflik antar pelakon. Ashar Yotomaruangi, penulis naskah, mengungkapkan bahwa cerita ini akan dipentaskan di dua kota, yakni Surabaya dan Kendari.

Sanggar Seni Lentera mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari para penonton yang hadir malam itu (24/6) di antaranya kaum pelajar, mahasiswa, pekerja pemerhati seni, seniman sampai dinas pemerintah setempat. Sampai sesi diskusi yang di gelar setelah petunjukan pun, hangat dengan saran, kritik, dan ucapan selamat. Mas Dodi Teater Mesin Surabaya memeberikan aplus terhadap Sanggar Seni Lentera Kota Palu, menurutnya pertunjukan Lentera tertata dengan rapih, penghadiran spektakel yang memukau penataan, Mas Obeng Teater API seniman Surabaya mengatakan Teater Lentera memiliki warna tersendiri dalam pertunjukannya dan Sasa Jurnalis/Markom Surabaya. Mengatakan penyutradaraan Topogente terstruktur, mulai dari bloking, komposisi, levelitas, kekompakan dan sampai apa yang ingin disampaikan.

Pertunjukan Sanggar Seni Lentera di Surabaya (Kota Pahlawan) tidak lepas dari dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak di antaranya Ketua Dewan Kesenian Palu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu, Ketua Seniman Peduli Narkoba dan Dra. Ince Rahma Borahima.

“Pakasalama Adata Pura” Tageline ini yang selalu mengantar sanggar seni lentera dalam setiap langkah perjuangannya dalam bergerak, maju dan menang.Salandoa Kami.

No comments:

Post a Comment