Wednesday, August 31, 2011

palu contemporary

Biografi Pengarang

Moh. Nurdiansyah Lahir di kota Palu, 14 Oktober 1979 menikah dengan Nurul Jamilah, dikarunia anak lelaki bernama Miftakhul Abdussalam. Pendidikan terakhir Institute Seni Indonesia Yogyakarta. Tahun 2008. Mulai mengenal seni teater Tahun 1996, dan berperan dalam lakon “Sando”, karya Hidayat Lembang di Taman Gor Kota Palu Sulawesi Tengah. Tahun 1997, pentas Naskah “Tomanuru” karya Musa Abd Kadir sebagai pemain. Tahun 2000, pentas teater dalam Festival Alimin Award naskah “Lysistrata” karya Sophoclas sebagai Walikota bertempat di Auditorium RRI Kota Palu meraih Aktor terbaik. Tahun 2001, berperan sebagai Alimin dalam naskah “DOR” karya Putu Wijaya. Tahun, 2003, pentas “Tomanuru” naskah dan sutradara Musa Abdul Kadir, dalam “Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta”. Tahun 2004, bergabung dengan sanggar teater Debur 21 Yogyakarta sebagai Aktor pentas di tiga Kota (Bandung, Surabaya, Yogyakarta). Naskah “Jangan Kau Culik Anak Kami” Sutradara dan penulis Alan Papin. Tahun 2008 bergabung dengan sanggar Teater Lampu Pleret Yogyakarta.

Belajar menyutradarai dan menulis naskah diawali Tahun 2004, dalam naskah “Parodi Taiganja” di pentaskan di Auditoriun RRI Kota Palu. Tahun 2003, sebagai sutradara, pemain dan penulis naskah “Kepala Batu Batu Kepala” di pentaskan dalam acara Artefak Donggala di Sulawesi Tengah. Tahun 2006, sutradara lakon “Sahabat Terbaik” karya James Saunders dipentaskan di stage teater ISI Yogyakarta. Tahun 2006, sutradara lakon “Sonata dan Tiga Lelaki” #1 karya Jean Tardieu pentas di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2007, Sutradara lakon “Sonata dan Tiga Lelaki” #2 karya Jean Tardieu dipentaskan di Teater Arena ISI Yogyakarta. Tahun 2008, Sutradara lakon “Sonata dan Tiga Lelaki” #3 karya Jean Tardieu di pentaskan di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2008, Sutradara dan Aktor dalam lakon “Roro Mendut Jelas Salah” karya Wimbadi JP. Dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 2009,

Sutradara dan penulis naskah “Tondatalusi” dipentaskan di Gedung Cak Durasim Surabaya pada Festival Soerabaya Djoeang. Tahun 2009, Asisten Sutradara dan Stage maneger dalam naskah “Sepasang Merpati Tua” karya Bagdi Soemanto dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 2010, Sutradara dan penulis naskah “Balada Orang Sampah” dipentaskan di Taman Budaya Kota Palu Sulawesi Tengah. Tahun 2010, Sutradara naskah “Lawan Catur” karya Keneth Arthur dipentaskan pada Festival Teater Pelajar Tingkat Nasional Se- SMA di IKIP PGRI Semarang dan mendapat tiga Nominasi (pembantu Aktor terbaik, Aktris terbaik, Penyaji terbaik). Tahun 2010, sutradara naskah “Topogente” karya Ashar Yotomaruangi dipentaskan di Gedung Cak Durasim Surabaya dalam Festival Negarakreatagama. Tahun 2010.

Penata Artistik dan Aktor dalam naskah “Awas” karya Putu Wijaya ditulis kembali dan disutradarai oleh Ibet pada acara “Mimbar Teater” di teater Bong Taman Budaya Surakarta. Tahun 2010, Menyutradarai Naskah “Balada Orang Sampah” naskah M. Noerdianza pementasan teater Sanggar Seni Lentera di Taman Budaya Kota Palu. Tahun 2011 Menyutradarai dua naskah sekaligus, tema “Semalam Dua Karya”, yakni “KEHIDUPAN GALILEI” Judul Asli “Leben des Galile” karya Bertolt Brecht. Terjemahan Frans Rahardjo. “DIAM” Judul asli “Le Silence” karya: Jean Murriat Saduran; Bagdi Soemanto. Tahun 2011, Menyutradarai naskah berbahasa Kaili “I MANGGE MPOBILISI” karya Ashar Yotomaruangi di pentaskan keliling di kota dan kabupaten. Tahun 2011, menyutradarai naskah “TARIAN KATA PEMIMPIN” karya Moh. Nurdiansyah.

Selain Aktor dan sutradara teater, juga mendalami bidang Artistik, yakni Tahun 2007, penata panggung dalam lakon “Come and Go” di Kedai Kebun Yogyakarta. Tahun 2007, penata panggung dalam lakon “Kereta Kencana” karya Iogene Ionesco di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2009, penata lampu pentas Monolog “Merdeka” karya Putu Wijaya pada Festival Kesenian Yogyakarta, di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 2008, Penata panggung naskah “Abu” sutradara Daniel Exaudi dalam Tugas Akhir penyutradaraan di Sage Teater ISI Yogyakarta. Dalam bidang sastra Tahun 2001, mengikuti “Lomba Cipta Puisi Mencari Jejak” dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Palu sebagai peserta. Menulis naskah Teater “Tondatalusi”, menulis Naskah Teater “Belenggu Air”, menulis naskah “Parodi Taiganja” menulis naskah “Kepala Batu Batu Kepala”, menulis naskah “Balada Orang Sampah”, menulis naskah “Tarian Kata Pemimpin”.

Prestasi yang diraih, Tahun 2000, sebagai Aktor terbaik “Festival Alimin Award”. Tahun 2001, Harapan 1 Lomba Cipta Puisi “Mencari Jejak”, Tahun 1999, Juara 1 lomba cipta lagu pada Festival Musik Akustik di Kota Palu. Pengalaman dalam bidang Musik. Tahun 2001, bergabung dengan sanggar tari tradisi Cemara Vaino Kota Palu sebagai penata musik tari. Tahun 2003, bergabung dengan Komunitas Seni Tadulako pentas musik etnik Kontemporer “Kumpul Kempel Kampus” di Teater Kecil Surakarta, sebagai penabuh gendang, Tahun 2003, pentas musik kontemporer “Lima Cara Lima Suara” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Tahun 2004, Ilustrasi musik teater “Kereta Kencana” mayor Vocal dan suling, sutradara Erwin Sirajudin. Tahun 2004, Penata musik puisi “Mainang” karya Iyak dipentaskan dalam acara pentas perdana sanggar Sawung Dupat di Stage Teater ISI Yogyakarta. Tahun 2007, penata musikalisasi puisi “Sepasang Pengantin” karya Iyak dalam acara temu sastra UGM. Tahun 2011 Penata Musik Tari S-2 dengan tema lingkungan di sungai halaman Joko Pekik. Tahun 2011 Penata Musik Teater S-2 sutradara Silvi Purba (Dosen ISI).

Landasan Penciptaan
Berangkat dari selera tiap-tiap individu dikemas menjadi sesuatu yang mugkin menggelikan tapi itulah kejujuran. Layaknya anak-anak kecil sedang asik bermain mengeluarkan kata-kata “jorok” yang menyinggung perasaan tapi itulah kenyataan dari ke-polos-an seorang anak, tanpa menyadari apakah berdosa atau tidak ataukah menyinggung perasaan atau tidak. Landasan penciptaan ini meminjam aliran, gaya dan bentuk Performance Art yang banyak dipengaruhi oleh Dadaisme dan Futurisme.

Dadaisme berasal dari bahasa Jerman yang berarti tanda kebodohan yang naïf, ketololan, lamban. Dada atau Dadaisme tumbuh dan berkembang di wilayah netral, yaitu Zürich, Switzerland, semenjak Perang Dunia I (1916-1920). Aliran gaya dan bentuk Dadaisme meliputi seni visual, sastra (puisi, pertunjukan seni, teori seni), teater dan desain grafis. Titik fokus aliran ini, yakni budaya dan politik. Kegiatan gerakan ini antara lain pertemuan umum, demonstrasi dan publikasi jurnal seni/sastra. Tahun 1924, aliran Dada menemukan gaya dan bentuknya menjadi Surealisme, Realisme Sosial, dan sebagainya. Mayoritas pecinta Dada menentang mengatakan Dada sebagai awal seni postmodern. Setelah Perang Dunia II berakhir, sebagian besar penganut Dadais Eropa pindah ke Amerika Serikat.

Akhir perang dunia kedua banyak bermunculan gerakan dalam bidang seni dan sastra. Namun Vladimir Lenin tidak perduli dengan aktivitas revolusi seni, Vladimir menulis rencana revolusioner Rusia di apartemen dekat gedung Cabaret Voltaire. Pada saat itu pula berlangsung pertunjukan Dadais Zurich. Pada tahun 1974 Tom stoppat menggunakan kisah tersebut menjadi ide karya dramanya yang berjudul “Travesties” tokoh yang ditulis dalam karyanya, yakni Tzara, Lenin, dan James Joyce. Setelah pertunjukan usai, gedung Cabaret Voltaire tidak terpakai lagi. Tahun 2002 tepatnya bulan Januari hingga Maret, Mark Divo pimpinan Dadais menggelar pertunjukan. Para kelompok yang mengikuti pagelaran tersebut meliputi Jan Thieler, Ingo Giezendanner, Aiana Calugar, Lennie Lee dan Dan Jones. Setelah pagelaran berakhir para kelompok tersebut mengasingkan diri. Kini gedung Cabaret Voltaire menjadi museum sejarah Dada. Karya Lennie Lee dan Dan Jones terpampang di dinding museum. Tahun 1967, diadakanlah pertemuan di Prancis. Pada Tahun 2006, Museum Seni Modern di New York City mengadakan pameran Dada bersama Galeri Seni Nasional (National Gallery of Art) di Washington D.C. dan Centre Pompidou di Paris.

Futurisme lebih berbentuk manifesto/pernyataan daripada praktek, dan lebih propagandis daripada sebuah bentuk produksi nyata. Pelopor performance art “Bauhaus” Jerman, didirikan pada 1919, adalah aliran, gaya dan bentuk seni yang mengeksplorasi hubungan antara ruang, suara dan cahaya. Di Amerika Serikat performance art “The Black Mountain College” didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh instruktur Bauhaus tetapi diasingkan oleh Partai Nazi, selain itu juga ada "Beatniks" - stereotip: rokok, kacamata hitam dan baret hitam, cukup terkenal sekitar akhir 1950-an dan awal 1960-an. Pada awalnya aliran, gaya dan bentuk seni ini digunakan untuk menggambarkan setiap peristiwa yang artistik dalam hidup seperti penyair, musisi, pembuat film, dll - di samping seniman visual. Dada, Futurism, Bauhaus dan Black Mountain College adalah inspirasi dan membantu membuka jalan bagi Performance Art yang mengacuh kepada tubuh fisik.

Obyek Penciptaan
Sekilas tentang “Tondatalusi”

TONDATALUSI, memiliki makna yang terdiri dari tiga tungku mewakili Adat, Agama dan Pemerintahan, sebagai simbol ke-bersama-an menuju sebuah tujuan, yakni KEDAMAIAN. Berikut penjelasan secara spesifik mengenai sistem tradisi. TONDATALUSI adalah sistem tradisional atau pra modern, antara lain individu dan masyarakat tidaklah merupakan objek, tetapi subjek yang turut menentukan arah kehidupan. Sistem Agama adalah sistem yang baku yang tidak bisa diubah agamalah dasar pijak kehidupan. Dan kebenarannya tak diragukan lagi. Sistem pemerintahan adalah sistem politik modern yang memiliki tiga unsur, di antaranya Demokrasi, Konstitusional, dan Berlandaskan hukum. Demokrasi adalah kebebasan individu dalam berpendapat, Konstitusional ialah aturan dasar yang ditempuh melalui kesepakatan. Sementara Hukum itu sendiri mewadahi perbedaan paham dan pandangan, serta mengatasinya dengan cara beradap dan damai, dalam aturan yang disepakati bersama.

Konsep Penciptaan
Penciptaan ini mengambil acuan dari realitas sosial kultur masyarakat kota palu. Hal penting dalam konsep penciptaan, yakni pesan moral yang termuat dalam penciptaan, yang nantinya penulis akan sampaikan melalui simbol kostum, tubuh fisik dan lokasi tempat pertunjukan. Dan menjadi titik fokus pada penciptaan ini, yakni Teluk, Kota dan Perubahan. Proses penciptaan ini berangkat dari sistem tradisi di tanah kaili yang disebut dengan Tradisi “Tondatalusi”.

Tradisi Tondatalusi dibenturan dengan realitas modern. Dalam masyarakat modern dasar atau keutamaan dari sistem sosial antar individu telah melangkah jauh dari aturan-aturan dan hubungan antara satu dengan yang lainnya dan lebih bersifat impersonal menjadi lebih pre-dominan. Bahwa kebersamaan me-nampak-kan kesenjangan sosial semata-mata hanyalah khiasan belaka, bagai tarian kata yang di-curah-kan di dinding closet. Duduk berak membaca tulisan sekitar lalu keluar dan me-lupakan-nya. Tidak ada lagi yang saling percaya, idelisme komunal kehilangan makna, dan sistem telah melangkah jauh dari bukti-bukti empiris (berdasarkan pengalaman dan penghayatan) Idealisme dalam penulisan ini tidak lagi menunjukkan sikap saling menerima atau menghayati antara satu dengan yang lainnya, hilangnya sikap saling menyokong sebuah perencanaan, kepala adat mengundang mahluk gaib melalui tubuhnya, dan mahluk gaib itu berkata. “Tambang Emas di Poboya milik rakyat dan harus diperuntukan untuk rakyat, tidak akan terjadi apa-apa, tidak akan ada bencana tetapi dengan satu syarat harus berpegang teguh pada “keadilan”. Tetapi pada realitasnya tidak ada keadilan yang terlihat. Hasil yang didapatkan para pekerja tambang tidak setimpal dengan kerjanya, apalagi pekerjaan menambang yang menjadi taruhannya adalah nyawa. Puluhan bahkan ratusan penambang mati tertimbun tanpa adanya kabar berita, yang paling buruk lagi, limbah tambang mengotori kejernihan air. Kejernihan air berubah menjadi keruh bercampur limbah mercury yang berasal dari tambang emas Poboya.

Menurut Ketut Suarayasa, hasil lab menunjukkan 0,01 masih bisa dikatakan normal, namun saat ini hasilnya telah mencapai 0,005, berarti positif mengandung mercury,” Mercury adalah unsur kimia sangat beracun (toxic). Logam Hg ini dapat terserap ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit. Bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh senyawa merkuri di antaranya kerusakan rambut dan gigi, hilang daya ingat dan terganggunya sistem syaraf.

Bila kita memandangi kota dari puncak ketinggian memiliki pemandangan khas yang unik dan begitu indah dipandang mata. Berada di antara aliran sungai yang mengalir dari arah selatan. Sisi barat dan timur adalah pegunungan yang ceruk lonjongnya ke arah utara membentuk garis pesisir teluk yang menawan. Dimensi gunung, sungai, laut dan pesisir teluk itu memberi ciri khas tersendiri bagi kota Palu. Seiring dengan kemajuan perkembangan pembangunan fisik dan non fisik yang semakin pesat, Taman Hutan Raya Poboya pun kini gundul dan berbopeng. Sangat disayangkan apabila kita berada di tengah kota, terik matahari begitu terasa di ubun-ubun, pepohonan seperti yang kita pahami sebagai nafas bumi begitu rindang dipinggiran trotoar jalan, menghiasi kota dan memberi kesejukan pada pejalan kaki untuk berteduh dilenyapkan begitu saja. Sementara rombongan pembela agama menganggap diri mereka lebih benar dari yang lain, memukul tanpa adanya alasan dan belas kasih, agama mereka jadikan sebagai dalih. Para pemerintah menjalankan roda pemerintahannya macet dikarenakan angka-angka. Semua ingin me-nunjuk-kan eksistensinya sendiri tanpa peduli siapa dan apa yang ada di sekitarnya.

Pesan Moral
Pesan moral dapat diartikan sebuah nasehat atau ajakan tentang ajaran baik dan buruk yang diterima oleh umum mengenai perbuatan dan sikap manusia. Dengan demikian pesan moral dalam performance art dengan judul “Tondatalusi tinggal sebuah dongeng”. Performance ini bukan hiburan yang memanjakan penonton. melainkan kegelisahan individu terhadap realitas sosial, kita sendiri seolah saling menelanjangi, saling membuka aib melupakan etika, hilangnya kebersamaan antara adat agama dan pemerintah untuk saling mengisi dan berbagi gagasan-gagasan demi pembangunan kota itu sendiri. Bukan merasa diri sok suci dari individu lain. Manusia hanya bisa saling mengingatkan, saling menopang demi terciptanya pembangunan karakter individu. Terwujudnya pembangunan karakter individu akan mewujudkan karakteristik suatu bangsa. Meskipun demikian kita tak dapat menyangkal bahwa kita tidak bisa lepas dari sistem-sistem yang telah dibuat dan telah disepakati bersama. Satu-satunya cara membuat sistem di dalam sistem, dengan sistem cinta. Hanya dengan sistem cinta tentu kita akan tersentuh untuk menjaga kelestarian, kekhasan dan keunikan kota dan menghargai tradisi budaya di tanah Kaili. Tradisi tondatalusi kini layaknya sebuah dongeng yang hanya meninabobokan kita.

Pemilihan Tempat
Lokasi performance outdoor dengan dua alternatif. Pertama halaman Taman Budaya, kedua kampung nelayan tepatnya pinggiran pantai pegaraman. Alasan memilih dua alternatif tempat, pertama lokasi Taman Budaya adalah tempat atau wadah seniman berkreasi, dan melihat lokasi di halaman Taman Budaya kurang dengan pepohonan sesuai degan konsep pertunjukan.

Alternatif kedua kampung nelayan tepatnya lokasi pegaraman selain tidak adanya tempat berteduh dari pepohonan, konon kabarnya juga lokasi pegaraman tersebut adalah tempat awalnya rombongan Pue Nggari mendiami Besusu. Dilokasi penggaraman ini digalilah sumur oleh seorang keluarga Pue Nggari yang bernama “Rasede”, sumur inilah yang diberi nama “Buvu Rasede” sampai sekarang.

Costum
Kostum sebagai semiotika atau simbol tanda dan penanda dalam pertunjukan. Sama halnya dengan pilihan tempat yang dipaparkan di atas. Pilihan kostum dibagi menjadi tiga bagian sesuai urutan tradisi Tondatalusi diawali dengan adat. Adat ibarat awal lahirnya manusia dari rahim seorang ibu, yakni kepala. Kepala sebagai tanda kehormatan maka penanda yang digunakan adalah Siga atau pelindung kepala istilah umum dikenal topi. Setelah adat masuklah agama yang di simbolkan dengan baju koko. Kemudian pada bagian bawah menganakan celana dinas pegawai negeri. Sebagai penggerak berkembang atau tidaknya suatu bangsa. Agama berada diposisi tengah yang ditandai dengan baju koko sebagai penyeimbang. Sementara payung simbol perlindungan. Payung yang akan digunakan performer, yakni payung yang lubang dan terlihat kusam, beberapa jerujinya patah dan berkarat. Payung sebagai penanda kota.

Plot/Alur (jalan cerita)
Performance dimulai saat matahari tepat diubun-ubun. Performer menggambar peta Sulawesi Tengah dengan cat dan kuas, di mana titik kuas berhenti di situlah perform duduk. Seiring waktu berjalan perform terus duduk di bawah terik matahari sambil berlindung di bawah payung yang nampak kusam dan berlubang-lubang. Karena tidak tahan dengan panasnya terik Matahari, perform membuka siga (penutup kepala) dan menaruhnya di atas payung yang berlubang. Kemudian perform kembali duduk statist. Cahaya panas matahari masih menembus payung yang berlubang, perform membuka baju koko kemudian menaruhnya di atas payung menutupi lubang. Perform kembali duduk seperti semula. Waktu terus berlalu cahayapun masih menembus payung, perform membuka celananya lalu menaruhnya di atas payung. Perform kembali duduk. Jarum jam setia pada lingkarnya, cahaya matahari tidak terlihat lagi menembus payung yang berlubang, akhirnya perform menutup payung dengan perlahan dan tubuhnya terbungkus payung.


Dari Alur cerita di atas ditemukanlah tema dari judul karya performance:

“Tondatalusi”
tinggal sebuah dongeng
Tema: “Rindu akan hadirnya sebuah kebersamaan”


“performance art & kontemporer”
Sekilas perjalanannya

Berbicara mengenai performance art sama halnya membicarakan semangat pembaharuan dalam seni. Satu semangat yang bisa membuat penonton tertantang berpetualang. seperti halnya seniman: selalu melakukan petualangan setiap kali berkarya. "Performance art” adalah sebuah penampilan langsung yang memadukan segala unsur seni. Cara menikmati karyanya sangat tergantung pada tindakan yang ditentukan oleh suatu tempat dan penonton. Ini sebuah bentuk seni yang tumpang tindih dan melampaui bentuk-bentuk karya yang menggunakan aksi atau tindakan seperti; happening art, action painting, process art, street art, body art, dan sebagainya. Sebuah performance art ditentukan oleh beberapa cara yang tidak sama dengan teater atau seni tari. (Walker, 1977). Sekitar tahun 1909 kelompok Futurist di Paris yang beranggotakan penyair, pelukis, dan pemain teater, menggunakan tubuh sebagai medium performance art. Mereka menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang riil kecuali benda-benda fisik, akal dan kesadaran merupakan perwujudan dari benda itu sendiri dan dapat mengecil menjadi unsur-unsur fisik dalam seni. Perfomance art juga merupakan bentuk perlawanan terhadap kemapanan seni yang hanya dapat dikonsumsi oleh segelintir orang kaya dan penguasa.

Sejarah Perforamance art di Indonesia
Di Indonesia performance art muncul tahun 1975 seiring dengan adanya Gerakan seni rupa Baru. Pada awal kemunculannya sampai tahun 2000, performance art masih ”murni” menjadi seni garda depan. Kritis terhadap dunia seni rupa Indonesia dan muncul di jalan-jalan bersama mahasiswa dan masyarakat berdemonstrasi memperjuangkan nilai keadilan. Ketika muncul warna baru dalam seni rupa (media art dan new media art) yang lahir dari persinggungan seni dan teknologi, performance art mengalami perkembangan. Dalam perkembangan dunia seni rupa kontemporer Indonesia dewasa ini, khususnya karya-karya yang bersinggungan dengan perkembangan teknologi, New Media Art (seni media baru) adalah salah satu contohnya. Dalam konteks seni, penggunaannya sering dipahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. Salah satunya adalah adanya perubahan bentuk performance art menjadi multimedia performance dan yang terakhir berubah bentuk menjadi video performance. Video performance, lahir dari sejarah panjang perkembangan performance art. Selain persoalan perpaduan seni dan teknologi yang mendorong metamorfosisi (perubahan bentuk) performance art menjadi video performance seperti di atas. Tulisan ini juga membahas aspek-aspek sosial seiring kemunculan dan perkembangan performance art di Indonesia. Pertama performance art sebagai seni penyadaran dan perlawanan dengan cara mengembangkan kembali realitas sosial dan kemapanan seni rupa itu sendiri. Kedua adanya wadah dalam praktik pemberitaan kilat secara luas (termasuk Indonesia) yang membelokkan arah perjuangan. Ada juga jenis performance art dari wadah penyadaran menjadi seni periklanan untuk kepentingan pasar.

Contemporary
Contemporary banyak digunakan untuk menyebut praktek seni visual. Dalam pertunjukan Kontemporer tidak ada pertanyaan yang terjawab secara langsung, tidak ada gaya yang wajib dianut, tidak ada penafsiran yang selalu benar. Seni Kontemporer adalah perkembangan seni yang terpengaruh dampak modernisasi dan digunakan sebagai istilah umum. Sejak istilah Contemporary Art berkembang di Barat sebagai produk seni yang dibuat sejak Perang Dunia II. Kontemporer berkembang di Indonesia seiring makin beragamnya teknik dan medium yang digunakan untuk memproduksi suatu karya seni, Tidak ada sekat antara seni visual, teater, tari, dan musik. Menurut pendapat penulis Kontemporer itu ilmu yang mempelajari kebebasan ekspresi memiliki makna-makna filosofis tanpa bergantung pada aturan-aturan dari ragam unsur seni. Kontemporer itu berbicara masalah kekinian, selalu abdate dengan peristiwa peristiwa kekinian.