Thursday, November 19, 2009

PENTINGNYA MENGEMBANGKAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL

Proses Kreatif Teater Melalui Karya Lakon
Moh. Noerdianza

Budaya lokal tradisi Sulawesi Tengah dikenal dengan sejarah tutur. Ini terbukti tidak adanya temuan para ahli arkeolog dan antropolog mengenai peninggalan tertulis, yang ada hanyalah peninggalan batu tua arca menhir sebagai warisan budaya, yang disebut zaman megalitikum. Bermula dari era mesolithikum (era peralihan dari peradaban batu tua yang di sebut paleolithikum menuju pada era peradaban batu muda neolithikum). (Rusdy Mastura, 2008). Di lembah-lembah tersebut rata-rata patung batu tertanam di tanah dengan bentuk yang unik sebagai perwujudan tokoh yang dianut ataupun disegani. Sebagai contoh, patung Tadulako dari lembah Besoa, (simbol panglima perang) pada bagian dada, mata bulat melotot, memakai ikat kepala (pekabalu) dan bagian pelipis terdapat benjolan yang menunjukkan telinga, tangan mengarah ke phallus (alat kelamin) yang menonjol. Menurut mitos diyakini sebagai simbol panglima perang dan nenek moyang, sehingga masing-masing diberikan sesaji untuk mendapatkan berkah. Begitu pula dengan Kalamba (tempat mandi raja) juga dari lembah Besoa, Kecamatan Lore, Kabupaten Poso. Badan Kalamba dihiasi pola hias melingkar dan motif hias hewan. Satu lagi patung yang unik adalah Palindo, replica arca menhir yang terdapat di Situs Padang Sepe, lembah Bada. Patung Palindo dianggap masyarakat sebagai penghibur, yakni perwujudan nenek moyang yang bernama Tasologi yang mampu mengangkat rakyat Bada melawan suku Musamba. Arca ini miring sekitar 30 derajat dengan tinggi 400 cm. Cerita mitos akan lebih menarik apabila ditansformasikan kembali dalam bentuk naskah memperkenalkan kepada khalayak bahwa Sulawesi Tengah memiliki warisan budaya zaman megalitikum. Yudiaryani mengemukakan betapa pentingnya proses transformasi sastra lisan menjadi karya lakon untuk dilestarikan mengingat betapa kayanya negeri ini akan hal itu.

Berkembangnya zaman berkembang pula pemikiran-pemikiran terhadap seni pertunjukan kreatif. Cerita rakyat yang juga disebut dengan cerita klasik, dalam konteks seni pertunjukan kreatif tidak lagi dipentaskan seolah-olah seperti wujud aslinya, melainkan dijadikan dasar pijakan untuk menciptakan sesuatu yang “baru”. Seperti halnya di negeri Eropa, kita mengenal kisah cinta “Romeo dan Juliet”, “Oidipus”, di Indonesia kita mengenal cerita klasik wong Jowo “Roro Mendut”, pada dewasa ini cerita klasik tersebut di rombak, memutarbalikkan fakta sesuai konteks ke-kinian, dan perubahannya bisa saja dilihat dari perubahan kostum, sett, properti, lakon, make up, pemeranan yang tidak lagi melihat latar belakang waktu, tempat dan peristiwa lampau melainkan peristiwa ke-kinian. Tetapi konvensi masa lalu tidak dibuang melainkan sebagai dasar pijakan. Sebelumnya, WS. Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Sardono dan lain-lain. Sudah menghidupkan jiwa-raga tradisi yang akan sesat kalau dicari asal muasalnya ke Barat (Ign Arya Sanjaya, 2009:12).

Dalam disiplin ilmu pertunjukan mengembangkan tradisi budaya lokal ke dalam konteks ke-kinian disebut seni pertunjukan kontemporer. Kontemporer berasal dari kata tempo atau waktu pada masa kini atau dewasa ini. Maka dalam kontemporer tidak ada pertanyaan yang terjawab secara otomatis, tidak ada gaya yang wajib dianut, tidak ada penafsiran yang selalu benar. Jean Paul Sartre mengatakan bahwa manusia mendapat hukuman dengan hidup secara bebas. Dunia teater membebaskan sutradara, kreografer, komposer berhadapan dengan hampir semua kehidupan tanpa batas, yang membawanya pada kegelisahan eksistensial, yaitu kegelisahan yang mengerikan sebagai tantangan yang mendebarkan. Memang kegiatan teater di Indonesia juga ada yang berkiblat ke teater Barat sebagaimana yang dilakukan ATNI, lewat Asrul Sani, Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Tetapi yang lebih tegas dan deras adalah akar teater tradisi (Ign Arya Sanjaya, 2009:13).

Adanya karya-karya lakon yang berangkat dari budaya lokal sebagai batu loncatan bagi para seniman lokal dan pemerhati seni memperkenalkan dan melestarikan kebudayaannya melalui seni pertunjukan teater. Sebab Kesenian itu sendiri tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Bagaimanapun kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari ruang, di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah (Umar Kayam, 1980:38-39).